Jumat, 15 April 2011

"Mempromosikan dan menjual biar bisa bertahan" sebuah ide

Tulisan dari Sdr. Ignatius Kukuh

Untuk mengetahui seberapa banyak penyebab sekolah 2 katolik kekurangan siswa dan menyebabkan kemundurun sudah banyak yang bisa kita sampaikan dan kita lihat. Tetapi untuk mencari solusinya, saat ini hanya sebuah ide "nyeleneh" ini yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat.

Saya awali dengan beberapa pertanyaan :
1. Bagaimana cara saya tahu kalau sekolah itu sebenarnya "baik' dan anak saya harus saya masukkan kesana?
2. apa sie yang menarik dengan sekolah katolik yang sudah (hampir tutup) atau kurang murid itu sehingga anak saya harus sekolah disana??
3.Apakah ada bukti nyatanya?

>>Berawal dari pertanyaan diatas ide yang bisa saya sampaikan :
Sekolah pasti mempunyai suatu hal yang berbeda dari sekolah2 yang lain tetapi orang luar terutama calon murid/orang tua belum mengetahui, tugas sekolahlah untuk menyampaikan hal itu. Bagaimana caranya?Sekali waktu dalam setahun suatu sekolah harus mengadakan suatu 'Open House" (hal ini adalah umum dilakukan sekolah2 besar dikota2 besar, misal, bandung), tetapi bagaimana dengan sekolah2 di daerah? Sekolah bisa melakukannya sesuai dengan kultur dan budaya ( terutama budget anggaran) karena dengan Open House ( OH ) SUATU SEKOLAH BISA "MEMPROMOSIKAN" inilah sekolahan kami, inilah kelebihan kami, inilah yang membedakan kami dengan yang lain dan inilah hal-hal menarik yang wajib anda ketahui dan bermanfaat untuk masa depan anak anda. Acara dan kemasannya bisa diatur sedemikian rupa dan semenarik mungkin sesuai dengan keadaan setempat, undanglah banyak sponsor (bisa dari penerbit, bank, stand2 dari orang tua murid dll). Acara OH ini adalah salah satu cara sekolah untuk "menjual" dan menarik perhatian umum. Bakat - bakat anak didik mulai dari seni, olah raga dll bisa di tampilkan disini dan di lihat oleh masyarakat umum.Dalam OH ini sebisa mungkin ide2 "Marketing Sekolah" bisa di tetrapkan, tujuaannya adalah : mempromosikan keunggulan sekolah kepada masyarakat umum.

>>Saya yakin banyak dari teman2 yang sangat berpengalaman dalam mengelola acara-acara semacam ini sehingga menjadi menarik, disinilah aksi nyata kita untuk membantu sekolah biar kembali mendapatkan hati dimasyarakat.

>>Hal lain yang bisa kita lakukan adalah dengan 'soft promosi" misal dengan mengadakan lomba-lomba. Untuk sebuah SD misalnya adakanlah lomba yang pesertanya murid2 dari TK dan Play Group, sedangkan untuk SMP buatlah acara yang pesertanya adalah murid2 SD dan seterusnya. Promosi yang paling baik adalah "rekomendasi dari murid sekolah itu sendiri ke masyarakat umum disekitar tempat tinggalnya" ( dari mulut ke telingga dst....). Untuk melakukan hal itu murid2 sekolah tersebut haruslah dibuat bangga dulu dengan sekolahnya sendiri. Jika perlu lakukan presentasi2 di sekolah lain, ( untuk SMP lakukan di SD-SD ) dst.

>>Ikutkan selalu anak didik kelomba - lomba yang ada baik yang diadakan oleh dinas maupun instansi-instansi yang lain.

>>Salah satu faktor terpenting untuk kemajuan dan kesuksesan adalah loyalitas dan fokus pada suatu pekerjaan. Seberapa loyal dan fokus guru dan staff di sekolah itu/, berapa lama waktu yang disediakan guru dan staff di dan untuk sekolah tersebut?? di sekolah - sekolah besar (baik katolik maupun kristen di bandung0 mereka rata - rata masuk jam 7.00 pagi dan pulang jam 15.30 atau bahkan lebih, walaupun murid sudah pulang jam 13.00 atau jam 11.00 guru dan staff tetap "stay" disekolahan mengerjakan kewajiban mereka (apakah hal ini juga berlaku disekolah - sekolah di daerah atau kota lain?? ) sehingga mereka mempunyai waktu yang lebih banyak untuk "memikirkan sekolah dan cara bertahan sekolah"nya.

itulah sedikit yang bisa saya sampaikan dari apa yang saya amati, saya dengar dari lingkungan "pendidikan" di sekitar saya tinggal dan tentu saja masih banyak hal-hal lain yang belum terungkap. Semoga bisa sedikit membantu. saya tunggu pendapat dan tanggapan rekan - rekan semua. Mohon maaf biala banyak yang kurang tepat. Terimakasih.

Beberapa Penyebab "Bangkrutnya" Sekolah Katolik

Tulisan dari Sdr. De Santo Roberto

Topik ini bukan membahas apakah ada sekolah katolik yang tutup (fenomena ini sdh banyak yang tahu). Tetapi barangkali ini dimaksudkan untuk melontarkan beberapa persoalan yang dimungkinkan menjadi penyebab “bangkrutnya” sekolah katolik.

Ada Beberapa Penyebab :

1. MAHAL. Ini yang sering terlontar (efek semu bahwa sekolah katolik sekolahnya orang kaya). Karena mahal, maka banyak orang tua katolik yang menyekolahkan anak-2nya di sekolah negeri (yg relatif lebih murah krn milik dan dibiayai negera dan jumlahnya makin banyak saja). Jumlah murid menjadi berkurang.

2. KRISIS EKONOMI. Memang cukup dilematis. Di satu sisi beban operasional sekolah membengkak, mulai dari biaya listrik, gaji guru, pengembangan SDM guru. Sementara sumber dana sekolah katolik (sudah pasti bukan dari Pemerintah, rek !) adalah dari Uang Pangkal, SPP, donatur (yg dikelola Yayasannya). Uang Pangal tidak rutin. Pos SPP stagnan bahkan relatif menurun, dan donatur dari luar negeri praktis “dilarang” oleh penguasa. Pengeluaran menjadi tidak seimbang dengan pemasukan. “Besar pasak dari pada tiang”.

3. BEDA VISI DAN MISI. Antara Yayasan dan Pengelola Pendidikan (Eksekutif pendidikan) sering berbeda visi dan misi. Yayasan lebih mengedepankan “Ciri Khas” dan Eksekutif Pendidikan lebih mengejar mutu dan tuntutan jaman. Diperparah dengan kurangnya peran serta orang tuan murid dalam ikut serta memecahkan kebuntuhan yang ada. Kadang pihak Gereja, juga tidak ikut campur krn takut menambah persoalan.

4. MISMANAGEMENT. Pengelolaan sekolah masih mamakai management “belas kasih”, sementara banyak aspek “duniawi” yang semakin menekan kebutuhan sekolah (saya rasa semua sekolah) untuk menyikapinya. Seperti kemajuan iptek (IT dan Komunikasi) yang telat diantisipasi oleh pengelolanya (krn paradigma lama yang dipakai, yaitu management “belas kasih”). Belum lagi telatnya antisipasi kerasnya tekanan sistem kurikulum yang berubah-ubah. Bagi yang dibiayai Pemerintah masih mending, namun bagi yang swasembada murni seperti sekolah katolik, akan menjadi menambah beban kelincahan pengelolaan.

5. POLITISASI PENDIDIKAN. Banyak pengelola pendidikan katolik yang kurang tanggap atau masih menganggap sepi “ganasnya” politisasi pendidikan. Tengoklah Peraturan penrundang-undangan di bidang Pendidikan. Nyata bahwa pendidikan menjadi tidak steril dari kepentingan politik dan politik kepentingan yang nampak makin mengedepankan kepentingan kelompok tertentu (segala cara menjadi halal). Belum lagi kacaunya pembangunan sekolah-sekolah baru (terutama yang dibiayai Pemerintah) yang tidak lagi memperhatikan keberadaan sekolah yang sudah ada.

6. SISTEM PENDIDIKAN YANG BELUM MAPAN. Peraturan pemerintah tentang kurikulum yang berubah-ubah mulai dari CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), Kurikulum saat ini (Kurikulum Berbasis Kompetensi), kurikulum apalagi ya membuat para guru pusing. Apalagi dengan semakin kritisnya ortu dan siswa, konflik antara guru tua dan guru muda. Untuk buku pelajaran saja dan uang SPP sangat mahal. Ini juga terkait dengan Politisasi Pendidikan. Menciptakan kurikulum, dekat dengan urusan proyek, dan setiap proyek adalah keluarnya anggaran. Berapa anggaran yang tidak bocor ?

7. MENURUNYA JUMLAH PANGGILAN MENJADI IMAM, BIARAWAN/WATI. Terus terang saja, mereka yang terpanggil hidup selibat, secara moral lebih berpeluang untuk tidak tergoda kepada tuntutan kedagingan, sehingga kesetiaan mereka untuk membangun moral dan iman katolik tentunya lebih baik dari yang menerima penggilan menikah (tidak selibat). Mengabdi tanpa pamrih, itu sudah menjadi “kaul” mereka, tak terkecuali untuk membantu pengelolaan da pengembagan pendidikan. Jumlah panggilan yang banyak (setidaknya seimbang dengan populasi umat katolik) akan memudahkan pengelolaan pendidikan. Sayangnya jumlah panggilannya menurun.

8. SIKAP ORANG TUA MURID YANG MAKIN PRAKMATIS. Karena himpitan ekonomi dan minimnya gerakan katekese iman dan moral katolik, nyata menyebabkan orang tua makin akrap dengan pandangan prakmatisme dan pandangan “dagang sapi” oleh orang tua murid. Orientasi kepada hasil menjadi pola pikir mereka. Biaya yang banyak harus dipertanggungjawabkan oleh sekolah [padahal urusan pendidikan adalah urusan bersama !).

9. SIKAP TENAGA DIDIK (Guru). Makin banyak guru yang bermental "mengajar" bukan "mendidik". Adalah hal yang langka untuk mencari guru2 yg bisa "mendidik" dan berdedikasi tinggi. Gurupun menjadi pragmatis dan berperingai seperti pedagang. Hal ini diperparah oleh orang tua yg hanya ingin anaknya "lulus" dan mendapat "angka" yg baik.

Monggo dokomentari.
Tuhan memberkati.

Hanya Satu Kalimat: Sekolah Katolik Perlu Dukungan

Kiriman tulisan dari Rm. A. Luluk Widyawan

Melihat kondisi sekolah-sekolah Katolik, saat ini yang diperlukan adalah dukungan. Jika disadari panggilan karya pendidikan Katolik untuk apa, maka setiap kesulitan dan hambatan niscaya bisa dicari jalan keluarnya.

Karya Gereja

Gereja memiliki pilar pembinaan iman, pendidikan dan kesehatan. Di mana ada Gereja, di situ paling tidak ada karya pembinaan iman, sekolah dan rumah sakit. Inilah yang dilakukan oleh Yesus sendiri dalam karyaNya di dunia, mengajak berdoa, mengajar dan menyembuhkan. Melalui karya-karya unggul itulah Gereja ajur-ajer di tengah masyarakat, diterima dan hadir membawa kabar keselamatan konkret. Di sebuah tempat di mana ada sekolah atau rumah sakit, Gereja cenderung berkembang, dibandingkan di tempat yang tidak ada. Bahkan perkembangan Gereja diawali dengan karya pendidikan terlebih dahulu.

Pasar dan Sekolah Katolik

Sebenarnya, umat masih mengharapkan anak-anaknya bisa bersekolah di sekolah Katolik, paling tidak karena alasan mutu dan pengajaran iman. Kesulitannya seringkali masalah biaya. Bagi mereka yang mampu tentu tidak menjadi masalah. Bahkan karena dua alasan tadi mereka berani memperjuangkan biaya tersebut. Bagi yang mereka yang tidak mampu, ini yang perlu didukung dengan tidak mengabaikan usaha orang tua. Dukungan dari mana ? Misalnya dari paroki dengan mengadakan kelompok anak asuh atau mendirikan kelompok sejenis di paroki dengan tujuan membantu pendidikan.

Memang ada beberapa karakter umat. Yang merasa harus menyekolahkan di sekolah Katolik, apapun dan bagaimanapun itu. Sebaliknya ada yang lebih memilih sekolah murah berkualitas, sebagai contoh sekolah negeri. Ada yang memilih sekolah Katolik, namun terhambat biaya dan mencari solusi kreatif, sehingga kesulitan biaya bukan rintangan. Ada pula yang memilih sekolah Katolik, namun kecewa, menyumpah serapah dan menjelek-jelekkan karena terhambat biaya yang mahal. Ada juga yang tidak memilih sekolah Katolik, namun memilih sekolah lain yang lebih dianggap bermutu meskipun harganya justru lebih mahal daripada sekolah Katolik. Lebih parah lagi, ada yang antipati dengan sekolah Katolik karena mahal, mutu merosot dan sekian alasan negatif lainnya.

Sementara itu para pendidik dan pengembangan sekolah hendaknya tidak luput dari perhatian. Yang seringkali terdengar adalah, sekolah Katolik mahal. Mahal itu sendiri pun kini mendapat alasan karena diperlukan dana demi kelangsungan gaji pendidik dan pengembangan sekolah. Satu hal yang menyedihkan mendengar paparan bahwa pendidik di sekolah Katolik tidak mendapatkan gaji sesuai standar yang ditetapkan pemerintah. Tentu karena keterbatasan dana yang diperoleh dari para murid. Maka semakin menyedihkan jika mendengar sekolah Katolik sebisanya murah, lalu gaji para pendidik dan dana pengembangan pendidikan didapat dari mana ? Padahal sebagaimana diketahui, dana diperlukan untuk mendukung semua itu. Tanpa dana, maka banyak guru sekolah Katolik akan meninggalkan sekolah Katolik begitu diterima menjadi PNS dengan gaji yang lebih baik. Kecuali ada upaya lobi dan serius untuk memperjuangkan mereka yang diangkat sebagai PNS dapat diperbantukan di sekolah Katolik. Tanpa gaji yang mencukupi sementara tuntutan begitu tinggi, memungkinkan berdampak pada kesungguhan mengajar. Semoga hal ini keliru. Sementara untuk mencukupi gaji sesuai standar, seringkali terhambat dengan kemampuan yayasan dan cibiran sekolah harus murah.

Perbedaan persepsi inilah yang perlu dijembatani dengan mengadakan dialog, komunikasi dalam suasana saling pengertian. Paroki atau kelompok umat dapat mengundang dialog pihak sekolah atau yayasan untuk menjalin pemahaman, agar hal-hal yang menganjal bisa dikomunikasikan. Bukan sekedar sakit hati, kecewa dan menjelek-jelekan melulu sekolah Katolik

Dukungan

Gereja dalam hal ini komunitas umat, paroki, stasi, kelompok maupun siapapun itu perlu mendapatkan pencerahan terus menerus untuk terlibat dengan berbagai cara kreatif mengambil sikap peduli terhadap dunia pendidikan. Misalnya, tim paroki peduli sekolah atau bahkan komitmen paroki membantu sekolah di wilayahnya, panitia anak asuh, gerakan-gerakan peduli pendidikan, beasiswa dan lain-lain. Jika tidak, maka wacana mendukung sekolah Katolik hanya impian dan tinggal menunggu waktu, saat sekolah-sekolah Katolik akan menjadi gedung kosong belaka, memorabilia misi yang dilupakan generasi penerusnya yang lupa.

Namun, kegiatan tersebut hendaknya dilakukan dengan laporan yang transparan-akuntabel dan membawa dampak perubahan nyata, seperti kualitas kembali bagus, disiplinnya baik, pendidikan nilai-nilai terjadi, guru mumpuni, prestasi yang membanggakan, murid dan lulusannya cerdas dan berbudi luhur, pengajaran dasar-dasar iman Katolik mantap serta didukung sarana prasarana yang up to date. Jika tidak, para penyumbang akan menilai sendiri apa yang sesungguhnya terjadi dengan penuh keprihatinan.

Nasib Sekolah Katolik Bagian #7

Ingin berubah, tapi kekurangan dana?

Di satu kesempatan saya bercerita tentang Nasib Sekolah Katolik spt yang saya tulis di grup ini. Minggu lalu ada salah satu kepala sekolah yang minta saran ke saya. Berikut salah satu pertanyaannya:

Kami tergabung dalam sekolah SD, SMP, dan SMA Katolik di sebuah kabupaten. Bisakah perubahan dilakukan sebagian? Mengingat kami tidak yakin dengan perubahan secara total bisa berjalan. Guru-guru kami mungkin tidak siap dengan perubahan itu. Sementara kami masih kesulitan dana untuk saat ini. Bagaimana mengatasi hal ini. Dari mana kami mulai perubahan?

Mendengar keluhan kepala sekolah tersebut, menarik sekali untuk disimak. Setelah sy cermati, keluhan ini, sy kira tidak jauh berbeda dengan keluhan sekolah-sekolah yang ada di daerah. Maka tidak ada salahnya sy bagikan juga di sini, mungkin bermanfaat dan memberi inspirasi di sekolah anda.

Bisakah perubahan dilakukan sebagian saja?
Sebetulnya sy kurang setuju dengan istilah ini. Karena mengesankan komitmen untuk berubah yang masih setengah hati. Saya tetap menyarankan perubahan secara menyeluruh. Kenapa? Agar sumber masalah bisa teratasi.

Namun saya menggarisbawahi, bahwa perubahan tidak harus dilakukan secara cepat. Saya menyebutnya perubahan secara bertahap. Jadi bukan perubahan sebagian saja. Sekolah membuat planning/perencanaan prioritas perubahan.

Bagaimana jika sy tidak punya dana?
Seperti pepatah dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Dimana ada program yang memberi harapan baru, maka layak untuk diperjuangkan. Niscaya pasti ada jalan untuk memperoleh sumber dana. Dan sy juga sering dengar, sebuah sekolah yg tidak punya dana, akhirnya dengan tertatih-tatih bisa membangun gedung baru, yang sebelumnya dianggap tidak mungkin. Ya, disitulah letak kekuatan doa dan harapan, atau ada jg yg menyebutnya Tuhan telah berkarya.

Prioritas utama menurut saya: Kualitas SDM dan kualitas pembelajaran.
Karena proses pembelajaran akan berkualitas jika memiliki pengajar yang berkualitas. Setelah itu mulai ditingkatkan sarana, fasilitas sekolah, dan manajemen sekolah.

Bisa jadi prioritas perubahan seperti ini:

Langkah pertama : Pelatihan Motivasi bagi guru & karyawan.
Dengan tujuan: mengangkat kembali semangat dan spirit para guru & staf, menumbuhkan harapan baru tentang rencana reformasi sekolah. Ini jg yang kami lakukan di beberapa sekolah Katolik di daerah. Menurut saya, yayasan/sekolah bisa mengadakan pelatihan ini, memang ada sedikit biaya, tapi menurut sy bisa direncanakan, mengingat tujuannya yg sangat penting. Dari pelatihan ini diharapkan tumbuh motivasi baru, semangat baru, dan keberanian untuk melakukan terobosan. Namun jika berhenti sampai di sini saja, jg semangat itu tidak akan bertahan lama, tanpa kelanjutannya.

Langkah Kedua : Pelatihan Teaching Strategy
Bertujuan untuk meng-upgrade kompetensi para guru. Sehingga menghasilkan pembelajaran siswa yang berkualitas. Agar hasilnya bisa terasa, yayasan/sekolah perlu memiliki alat ukur untuk mengetahui apakah para guru/pengajar benar2 sudah mencapai standar kompetensi yang diharapkan. Jika masih ada beberapa guru yang dibawah standar, maka sekolah perlu membina lagi guru tsb.
Diharapkan dari pelatihan ini, para guru memiliki metode mengajar yang kaya akan strategi yang berorentasi student center, berbasis aktivitas yang menyenangkan. Setelah pelatihan ini, para guru bersama kepala sekolah, mengangkat keunggulan dan potensi sekolah. Bisa dari drumband, seni teater, kedisiplinan, karya ilmiah, prestasi olah raga dll.

Bila sekolah cukup memiliki komitmen untuk melakukan kedua rencana diatas, maka sudah pasti nampak ada perubahan yang signifikan. Sehingga menimbulkan semangat untuk terus memperbaiki citra sekolah menuju sekolah berkualitas.

Langkah selanjutnya yayasan/sekolah bisa mulai meningkatkan kualitas sarpras (sarana/prasarana), mulai dari renovasi, perbaikan gedung, pengecatan ulang, atau tambahan fasilitas baru. Sekolah bisa juga merencanakan secara bertahap, yang penting terus ada perbaikan nyata yang bisa terlihat oleh siswa dan orang tua siswa, serta masyarakat umumnya.

Selanjutnya bisa merencanakan program2 sekolah yang berkualitas, seperti Materi Character building atau pendidikan nilai-nilai katolik. Bisa berupa bidang studi yang berdiri sendiri, atau masuk dalam tiap bidang studi yang ada. Tergantung penerapannya dalam kurikulum sekolah.

Selanjutnya, peningkatan manajemen sekolah, secara transparan.

Inilah beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak yayasan/sekolah terlebih dulu, yang dimulai dari kondisi yang ada saat ini. Kunci perubahan bisa jalan atau tidak terletak pada komitmen yayasan, kepsek, guru, staf, gereja dan semua pihak yang terkait.

Demikian sharing saya, semoga bermanfaat.

Salam pendidikan,
Markus tan
www.best-camp.com

Nasib Sekolah Katolik Bagian #6

“Menggagas Sekolah Katolik Unggul”

Melihat sebelumnya tentang kriteria sekolah berkualitas, cukuplah bagi kita memberi gambaran posisi setiap sekolah katolik. Sekarang mungkin timbul pertanyaan dalam pikiran kita, “Bisakah Sekolah Katolik yang sudah merosot berubah menjadi lebih baik dan dan menjadi sekolah yang berkualitas?”

Kita sendirilah yang pantas menjawab pertanyaan diatas. Memang dibutuhkan perjuangan yang tidak mudah untuk menjadikan sekolah kita berkualitas. Namun kalau tidak dimulai dari sekarang, bisa-bisa menjadi terlambat, manakala sekolah sudah dalam kondisi yang gawat. Ibarat pasien yang sudah berada di ruang ICU, maka Dokter spesialis pun belum tentu sanggup untuk menyembuhkan pasien tersebut.

Namun saya melihat ada beberapa hal positif dari kondisi di sekolah katolik:
1. Komitmen para guru dan staf masih tinggi dalam mengabdi dan berkarya di sekolah. Bahkan ada beberapa dari mereka masih dalam status guru tidak tetap. Namun ada juga beberapa guru yang motivasi bekerjanya masih lemah.
2. Semangat para guru & staf yang patut dihargai, dengan gaji yang relatif kecil.
3. Adanya keinginan kuat Yayasan untuk terus memajukan Sekolah Katolik
4. Sekolah bisa berlangsung dengan fasilitas yang serba terbatas
5. Dukungan yang tinggi dari pihak Keuskupan, agar sekolah Katolik tetap eksis.
Berangkat dari hal-hal positif inilah kita mulai bisa melakukan tindakan dan perencanaan dalam membangun kembali Citra Sekolah Katolik.

Sering kali perbaikan atau perubahan dilakukan secara parsial. Misalnya: pelatihan, try out, pembinaan, retret, rekoleksi, dll. Tindakan seperti ini bagus, hanya belum bisa menjangkau akar permasalahan. Jika ingin benar-benar membangun sekolah yang berkualitas, maka diperlukan perubahan secara holistic atau menyeluruh. Perubahan mulai dari tingkat atas sampai paling bawah (top down). Memang hal ini bisa menimbulkan gejolak, atau ketidaknyamanan di dalam sekolah tersebut. Dan juga akan membutuhkan dana tambahan yang bisa memusingkan yayasan. Namun itulah esensi perubahan, dan jika memiliki komitment yang cukup tinggi, dan cukup sabar melakukan perubahan terus, maka tidak mustahil hasilnya akan bisa segera dirasakan. Dan jika sekolah Katolik minimal bisa menjadi Sekolah Mandiri (sekolah nasional), maka sudah tidak perlu lagi subsidi operasional. Bahkan bisa menghidupi dirinya sendiri dan membantu sekolah Katolik lainnya yang perlu perbaikan.

Namun bagaimana memulai perbaikan kualitas, sementara jumlah sekolah yang harus ditangani cukup banyak, sementara dana yang dimiliki terbatas.

Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:
1. Mengklasifikasi sekolah-sekolah tersebut di kriteria yang mana?
Mungkin masuk dalam tipe sekolah berjuang, atau sekolah sakit atau bahkan sekolah matisuri. Nah sekolah yang masuk kategori bagus, bisa dijadikan pilihan sebagai pilot project.
2. Menggagas sebuah sekolah pilot project
Kami mengambil dasar pemikiran yg sederhana: Untuk memudahkan dalam membangun Citra Sekolah Katolik, kita bisa memperbaiki satu sekolah dulu menjadi Sekolah yang berkualitas sesuai harapan dan cita-cita Gereja. Mengingat biasanya jumlah Sekolah Katolik yang dimiliki yayasan keuskupan/tarekat jumlahnya cukup banyak. Sehingga jika ditangani secara bersama akan membutuhkan banyak waktu, energi, dan biaya yang sangat besar. Saya menyebutnya Sekolah Pilot Project.
3. Melakukan Observasi sekolah pilot project
4. Menyusun program pembaharuan menuju sekolah yang berkualitas

Contoh Sekolah Pilot Project:
Program dari Prof. Habibie dalam mencetak pemimpin bangsa yang cerdas, berwawasan dan berakhlak mulia, dibentuklah sekolah unggulan: MAN Insan Cendekia di Tangerang dan Gorontalo. Para siswa berasal dari 33 propinsi di Indonesia. Lalu sekolah ini menjadi model sekolah-sekolah madrasah (MAN) yang lain di Indonesia.

Pemerintah di awal tahun 2007 membangun rencana Sekolah Berstandar Internasional (SBI) juga melakukan hal yang sama. Diknas menganggarkan setiap kota memiliki satu sekolah percontohan yang berstandar SBI. Misal di Surabaya, saat itu (2007) ada SMPN !, SMAN 5 yang menjadi sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Sekarang bahkan di setiap kota dan kabupaten sudah ada sekolah percontohan untuk sekolah SBI.

Apa Manfaat Sekolah Pilot Project:
1. Memudahkan dalam penanganan permasalahan secara spesifik.
2. Hasil perbaikan sekolah tersebut dapat dinilai secara signifikan
3. Menjadikan Sekolah tersebut sebagai Learning Center bagi sekolah Katolik lainnya
4. Perubahan dapat segera dirasakan oleh sekolah tsb.
5. Menjadi model sekolah unggul yang sesuai dengan visi misi yayasan dan Gereja.

Ada beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi, bila sekolah katolik tsb mau dijadikan sebuah pilot project:
1. Ada keinginan kuat dari pihak pastor pimpinan yayasan, pimpinan Gereja/tarekat untuk melakukan perubahan secara total. Karena diperlukan perubahan secara mendasar, menyangkut arah strategi, visi dan misi sekolah di jangka panjang. Perubahan ini dimungkinkan bila dilakukan secara top down, karena menyangkut kebijakan yayasan. Bukannya bottom up.

2. Perlu membangun komunikasi yang baik dan efektif. Seringkali perubahan mengalami banyak hambatan oleh karena tidak dilakukan dengan pendekatan komunikasi yang baik dengan kepala sekolah, guru dan staf karyawan. Sehingga menimbulkan suasana yang kurang harmonis. Jika perubahan ini tidak mendapat dukungan dari kepala sekolah, guru dan staf, maka akan mengalami banyak hambatan.

3. Dukungan dari Kepala sekolah/guru/staf karyawan. Perubahan harus mendapat dukungan dari komunitas sekolah. Maka perlu sosialisasi dan pendekatan kepada semua pihak. Ibarat menentukan tujuan baru, mau dibawa kemana sekolah ini, maka semua pihak perlu mengerti apa yang akan dilakukannya. Seringkali di sebuah sekolah, justru kepala sekolahnya yang bermasalah, maka perlu pendekatan ke para guru dan staf. atau bisa jadi para guru yang bermasalah, sehingga kepala sekolah susah untuk melakukan tugas dan kebijakannya.

4. Perlu menemukan dulu akar masalahnya, kenapa sekolah ini mengalami kemerosotan dan penurunan kualitas. Agar nantinya tidak salah kebijakan dan salah dalam penanganan. Untuk memperoleh jawaban yang tepat memang diperlukan analisa dan observasi secara mendalam.

Observasi Sekolah
Ibarat seorang dokter mendiaknosa pasiennya, sebelum melakukan tindakan pengobatan. Maka sekolah perlu diobservasi, sehingga akan terlihat mana yang perlu diperbaiki, maka yang harus diganti dan mana yang perlu diusahakan atau direncanakan. Siapa yang bertugas meng-observasi sekolah? Tentunya pihak yayasan, atau staf yang lebih kompeten dalam melakukan penilaian, evaluasi dan pengamatan yang mendalam. Hal apa saja yang perlu diobservasi? Observasi meliputi: manajemen pengelolaan, sarana/fasilitas, kurikulum, program sekolah, kualitas pembelajaran, kualitas guru, peralatan belajar mengajar dll. Dari hasil observasi ini, nantinya akan bisa diperoleh situasi dan kondisi sekolah tersebut, termasuk akan permasalahan yang menyebabkan sekolah mengalami stagnan.

Secara idealnya observasi dilakukan oleh tenaga ahli pendidikan, kalau yayasan tidak memiliki, biasanya bekerja sama dengan konsultan pendidikan. Hasilnya akan lebih akurat. Bisa jadi akan keluar hasil scoring terhadap setiap aspek standar sekolah nasional. Untuk standar sekolah nasional nilainya 100. Maka hasil observasi akan dihasilkan score nilai untuk sekolah tersebut. Bila nilainya 70, masih tergolong cukup baik dan perlu peningkatan. Bila nilainya dibawah 50, berarti ‘dangerous’ perlu perbaikan segera.

Beberapa sekolah muslim yang sebelumnya tidak berkualitas, juga melakukan observasi terlebih dulu. Terbukti sekarang menjadi sekolah favorit seperti: SD YIMI Gresik, SD YIMA Bondowoso, SMP Muhammadiyah 9 Sby, Al Irsyad Jember, Al Kaustar Malang, SD Wachid hasjim, Sekolah Lazuardi Jakarta, Jaringan SD Islam Terpadu, Al Khairiyah Sby dan banyak lagi yg lainnya. Tidak heran mengapa 4 tahun terakhir, sekolah muslim mengalami kemajuan cukup pesat.

Dari hasil observasi diatas, yayasan bersama pihak sekolah bisa merumuskan hal-hal yang perlu dilakukan dalam membangun sekolah pilot project:
1. Penataan manajemen sekolah
Manajemen sekolah harus dilaksanakan secara professional dan transparan. Agar para guru dan orang tua bisa mengetahui bahwa yayasan dan sekolah memang serius dalam memajukan sekolah menjadi berkualitas.
2. Membuat Grand Strategy sekolah
• Yayasan perlu menetapkan grand strategi jangka panjang Sekolah Katolik
3. Pemetaan kembali sekolah dan kompetitor sekolah
• Ibarat pertandingan, maka kita perlu juga mengenal lawan tanding kita di arena. Maka perlu pemetaan sekolah-sekolah apa saja yang ada di sekitar Sekolah Katolik. Termasuk kualitas sekolah disekitarnya, pagu mereka, lokasi, kelulusan dll.
4. Re-positioning, dengan semangat baru
• Membangun citra bisa dimulai dari beberapa hal spt: perubahan nama baru, slogan baru, misi baru, target baru, potensi keunggulan yang dimiliki, ciri khas sekolah yang akan ditonjolkan dll
5. Kerja sama dengan Stakeholder & masyarakat
• Bisa dilakukan misal dengan orang tua asuh, program beasiswa prestasi, kerja sama dengan perusahan untuk magang, service learning, environment learning dll.
6. Membangun semangat solidaritas & Penggalangan sumber dana
• Perlu didengungkan semangat perubahan dan menggalang solidaritas dari umat dan para donator dalam memajukan sekolah Katolik.
• Sekolah Katolik adalah milik umat. Untuk sekolah katolik yang dibawah yayasan keuskupan, maka perlu mengajak keterlibatan gereja setempat, dewan paroki, tokoh umat yang peduli pendidikan. Misal di Sekolah Yohanes Gabriel Pare, berkat dukungan paroki dan tokoh umat, telah berhasil membangun gedung sekolah yang cukup megah. Di Surabaya juga dilakukan oleh Paroki St. Maria Tak Bercela, membantu SMAK St. Hendrikus, sehingga menjadi sekolah yang berkualitas.
7. Penataan SDM yang berkualitas
• Dari hasil observasi akan bisa dilihat mana yang sudah memenuhi standar kompetensi dan mana yang perlu diperbaiki. Mana yang pro perubahan dan mana yang anti perubahan.
• Dari hasil data ini Yayasan dan Sekolah bisa mengambil kebijakan agar memperoleh SDM yang berkualitas.
8. Penataan Sarana dan Fasilitas
• Sarana dan fasilitas juga punya peran penting. Siswa akan merasa belajar nyaman bisa fasilitas sekolah terpenuhi.
9. Program Strategis Sekolah
• Disinilah Grand strategy di wujudkan berupa program sekolah selama 3 – 6 tahun.
• Program sekolah yang baik adalah program yang bisa menghasilkan standar kompetensi lulusan terbaik dan peningkatan kualitas kompetensi guru dan staf
10. Penataan Kurikulum
• Disinilah kesempatan Sekolah Katolik memasukkan program tambahan berupa Nilai-nilai Katolisitas, pendidikan religiositas, character building untuk melengkapi kurikulum Diknas.
• Sekolah Katolik harus memiliki ciri khas yang menunjukkan jiwa katolik,
11. Menerapkan system pembelajaran yang terbaik
• Pembelajaran terbaik adalah pembelajaran yang berbasis aktivitas dan sesuai dengan multiple intelligence, cara kerja otak dan gaya belajar siswa. Dengan cara ini pembelajaran akan berlangsung menyenangkan dan akan terjadi percepatan pemahaman siswa.
12. Pelatihan guru untuk metode pembelajaran secara regular
• Untuk menghasilkan kualitas pembelajaran terbaik diperlukan guru yang kompeten. Maka perlu melakukan pelatihan yang berjenjang bagi para guru sehingga mampu menerapkan setiap metode pembelajaran yang ramah siswa.

Membaca rencana perubahan tersebut, mungkin beberapa pertanyaan akan terlontar:
a. Apakah itu bisa dilakukan seperti rencana diatas?
b. Mungkinkah mengajak para guru untuk berubah, yang sudah terbiasa dengan kemapanan?
c. Apakah itu tidak membutuhkan dana yang besar?
d. Dari mana Yayasan / Gereja mendapatkan dana untuk perbaikan tsb?
e. Apakah sanggup yayasan (Pastor/Suster/Bruder) yang punya tugas di paroki dan stasi, melakukan perubahan tsb?
f. Apakah SDM (guru/staf) yang ada sanggup untuk diajak berubah secara total?

Jika kita berfokus pada kelemahan/masalah, maka sumber daya kita akan terkuras dan tiadanya keyakinan diri. Tapi jika kita berfokus pada apa yang bisa kita lakukan, maka selalu saja ada harapan, dukungan umat dan jalan keluar yang membantu mencapai tujuan. Akan sangat baik bila hal ini menjadi bahan diskusi di sekolah anda.

Semoga bermanfaat dan memberi inspirasi perubahan.

Salam Pendidikan,
Markus Tan
www.best-camp.com

Silahkan komentar dan masukan anda demi memajukan sekolah kita:

Nasib Sekolah Katolik Bagian #5

“Kriteria Sekolah Berkualitas”

Adakah di Indonesia peringkat untuk Sekolah terbaik atau sekolah unggul? Kriteria sekolah unggul atau sekolah terbaik hingga saat ini belum begitu jelas. Selama ini publikasi mengenai sekolah terbaik di Indonesia memang jarang atau bisa dikatakan tidak pernah dilakukan baik oleh instansi swasta, maupun oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas. Di Indonesia memang sudah tidak ada lagi penggunaan istilah sekolah unggulan atau sekolah terbaik. Menurut Diknas, yang ada, adalah sekolah berstandar nasional dan berstandar internasional. Ini diatur dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang mengatur penyelenggaraan pendidikan yang standar di Indonesia. Jadi sudah tidak ada lagi istilah sekolah unggulan atau sekolah terbaik. Kalau masih ada yang menyebutnya itu bisa-bisanya sekolah tersebut berpromosi. Sekolah Standar Nasional (SSN) diharapkan mampu memberikan layanan pendidikan dan menghasilkan lulusan dengan kompentensi sesuai standar nasional yang ditetapkan.

Mari kita melihat kategori sekolah menurut Depdiknas:
1. Sekolah Berstandar Internasional (SBI)
Sekolah yang memenuhi standar yang telah ditetapkan sebagai sekolah internasional. Termasuk system pembelajaran, management, sarana dll.
Sekolah yang dikategorikan Sekolah Standar Internasional (SSI) juga memiliki kriteria yang tentu saja mengacu pada standar internasional atau disebut SSN plus X. Diharapkan, setelah sebuah sekolah mampu mencapai standar nasional, sekolah itu mampu mengembangkan diri menuju standar internasional. Mula-mula mendapat gelar sekolah RSBI, hingga lolos sertifikasi jadi SBI. Maksudnya plus X itu adalah soal kurikulumnya yang masih dirumuskan. Yang paling gampang diamati dari SSI misalnya guru-gurunya minimal berpendidikan S2, proses belajar bilingual, dan sudah menggunakan IT

2. Sekolah Berstandar Nasional /Sekolah Mandiri
Sekolah yang memenuhi standar yang telah ditetapkan sebagai sekolah nasional. Seperti yang sudah sy singgung di tulisan Nasib Sekolah katolik Bag. #2. Termasuk :
• system pembelajaran, management, sarana dll.
• aspek input siswa, yang berkualitas
• sarana prasarana dan pembiayaan.
• aspek harapan yakni visi, misi, tujuan dan sasaran
• Indikator tenaga kependidikan bagi SSN. sekolah yang memiliki tenaga pengajar yang cukup memadai jumlahnya, kualifikasi, dan kompetensi sesuai dengan tingkat pendidikan yang ditugaskan.
• rasio siswa per rombongan belajar dan rasio pendaftar terhadap siswa yang diterima.
• Adapula komponen yang berkaitan dengan sarana dan pembiayaan mencakup ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang keterampilan/kesenian/komputer, kamar kecil, lahan terbuka, dan fasilitas pendukung lainnya.

Ciri-ciri Sekolah Standar Nasional/Mandiri:
1. Memiliki SDM yang mumpuni
2. Sumber dana keuangan yang cukup
3. Fasilitas belajar dan peralatan praktek yang memadai
4. Strategi yang jitu
5. Teknik marketing yang baik
6. Sistem dokumentasi yang bagus
7. Sistem komunikasi dan informasi yang efektif

Di awal tahun 2009, data jumlah sekolah SSN dan SSI adalah sbb:
Jumlah SMP SSN di Indonesia = 1.900 sekolah
SMA diperkirakan lebih dari 2.000 sekolah.
Adapun SMP SSI mencapai 100 buah
SMA SSI sekitar 229 buah yang kebanyakan berasal dari kota-kota besar.

Kriteria sekolah berkualitas diatas yang mulai diterapkan di tahun 2006, secara nyata telah ikut membentuk image (pandangan) masyarakat tentang sekolah terbaik atau sekolah yang berkualitas. Sehingga masyarakat akan menyerbu sekolah2 yang memenuhi kriteria diatas. Baik itu sekolah negeri atau sekolah swasta. Jika ada sekolah yang tidak memenuhi standar criteria diatas, sekolah tersebut dianggap kelas dua atau sekolah yang ketinggalan.

Sementara kita tahu ada banyak sekolah-sekolah Katolik yang masih belum memenuhi kriteria baik sebagai sekolah standar nasional ataupun sekolah internasional. Saya tidak tahu persis mengapa sedikit sekali sekolah katolik yang sudah berstandar nasional/internasional. Mungkin yayasan/sekolah katolik memiliki kriteria tersendiri tentang standar kualitas pendidikan. Ataukah sekolah katolik yang agak terlambat menanggapi situasi perubahan trend pendidikan seperti saat ini.

Saya pribadi tidak mengatakan bahwa sekolah nasional atau sekolah RSBI adalah sekolah yang terbaik. Namun dalam perkembangannya sekolah RSBI mendapat tempat di masyarakat kita. Sehingga terjadilah anggapan di masyarakat bahwa sekolah yang terbaik adalah sekolah yang sudah berstandar nasional atau bahkan internasional.

Nah bagaimana dengan sekolah yang diluar 2 kriteria diatas, yang tentu jumlah nya jauh lebih banyak? Memang pemerintah tidak membuat klasifikasi, karena diharapkan semua sekolah di Indonesia nantinya memenuhi standar nasional dan akhirnya standar internasional.

Untuk membuat klasifikasi bagi sekolah Katolik, saya menambahkan kriteria sekolah yang tidak termasuk sekolah standar nasional diatas yaitu:

3. Sekolah Eksklusif / sekolah elit
Yang termasuk golongan sekolah elit, adalah sekolah-sekolah katolik yang masih tetap bagus dan menjadi favorit hingga saat ini. Walaupun bukan termasuk kategori sekolah standar nasional, sekolah ini masih tetap menjadi idola para orang tua, karena punya gengsi tersendiri.
Ciri-ciri sekolah eksklusif:
1. Diakui masyarakat sekitar /umat sebagai sekolah berkualitas
2. Memiliki sarana dan prasaran yang tergolong bagus
3. Memiliki segudang berprestasi di tingkat regional dan nasional
4. Memiliki fasilitas dan perlengkapan laboratorium yang modern
5. Hampir dipastikan biaya masuk di sekolah ini juga mahal
6. Para guru yang berkompeten.
Contoh Sekolah katolik kategori ini misalnya: SMAK St. Maria, SMAK St. Louis, SMAK Frateran Surabaya, SMAK St. Albertus Malang.

4. Sekolah Berjuang
Sekolah yang lagi berjuang untuk tetap eksis. Boleh dikatakan sekolah ini jelek juga tidak, bila dikatakan bagus juga masih kategori rata-rata. Banyak sekali sekolah katolik yang masuk dalam kategori ini.
Ciri-ciri dari sekolah berjuang adalah:
1. Masih adanya demo / perselisihan antara guru/kepsek dan yayasan
2. Minim prestasi sekolah
3. Masih mengalami kesulitan terutama dalam pencarian calon siswa baru
4. Peran yayasan terlalu dominan atau malah sebaliknya kurang peduli
5. Tidak adanya transparansi keuangan
6. Pengelolaan manajemen yang masih tidak sesuai standar
7. Sarana prasarana masih kurang
8. Kompetensi guru kurang

5. Sekolah Sakit
Sekolah yang memerlukan bantuan / dukungan dan subsidi dari pihak lain, baik dari sisi operasional, sarana dan fasilitas dan dana. Beberapa Sekolah katolik masih banyak dalam kategori ini.
Ciri-ciri sekolah Sakit:
1. SDM tidak kompeten, kinerja rendah
2. Tidak memiliki cukup dana untuk gaji guru dan biaya operasional
3. Fasilitas sarana dan prasana yang terbatas dan memenuhi standar
4. Tidak punya strategi
5. Tata kelola dan managemen yang tidak bagus
6. Tidak ada prestasi yang membanggakan
7. Tidak ada semangat untuk maju
8. Tidak mau belajar dan berinovasi

6. Sekolah Matisuri
Sekolah yang tidak memenuhi standar hidup bagi sebuah sekolah, misalnya: jumlah siswa yang dibawah pagu, gaji guru yang terbatas, tidak memenuhi standar fasilitas, pelayanan dan pembelajaran.

Karena Kita perlu mengetahui dulu posisi masing-masing sekolah Katolik ada di mana. Dari kategori sekolah diatas, maka sekolah katolik perlu diklasifikasikan, karena masing-masing kategori akan ditangani secara berbeda. Kira-kira masuk kategori yang mana sekolah katolik di tempat anda?

Lalu yang perlu dicari setelah itu, adalah bagaimana mencari jalan keluarnya.


Salam pendidikan,
Markus Tan
www.best-camp.com

Silahkan berikan komentar dan masukan anda di forum diskusi demi kemajuan sekolah katolik

Nasib Sekolah Katolik Bagian #4

“Belajar dari SD Muhammadiyah 16 Surabaya”

Sekolah ini berlokasi di Jl. Baratajaya III Surabaya, letaknya tidak jauh dari rumah saya berjarak sekitar 500 meter saja. Namun saya belum begitu mengenal, hingga prestasi sekolah ini masuk di halaman Metropolis Jawa Pos Sabtu, 10 oktober 2009.

Inilah beritanya, seperti yang termuat di harian Jawapos

Heru Tjahjono, Lulusan SMPP Konseptor SD Muhammadiyah Kreatif
Dulu Tak Laku, Kini Sekolah Favorit

Kreativitas bisa mengubah sekolah tak laku menjadi sekolah favorit. Itulah yang terjadi di SD Muhammadiyah (SDM) Kreatif 16 Surabaya. Konsep sekolah kreatif tersebut muncul dari Heru Tjahyono, yang formalnya tak punya latar belakang ilmu pendidikan.

BERADA di tengah kampung yang kadang banjir, gedung SD Muhammadiyah Kreatif 16 Surabaya terkesan nylempit. Namun, warna-warni temboknya yang ngejreng cukup menarik perhatian.

Warna-warni itu lebih terasa ketika masuk ke dalam kelas. Meja dan kursi siswa tidak seperti biasanya. Tapi, ada yang berbentuk segi tiga, bundar, kotak, dan bentuk-bentuk lain. Demikian juga jendelanya, ada yang berbentuk wajah manusia, bunga, pesawat terbang, dan lain-lain.

Tangga kayu yang menghubungkan kelas-kelas di lantai dua dengan lantai satu lebih banyak digunakan untuk naik. Sebab, para siswa lebih suka turun meluncur lewat pelorotan yang memang disediakan. ''Kami ingin menciptakan pembelajaran yang menyenangkan untuk anak didik,'' kata Heru Tjahjono, konseptor SDM Kreatif.

Sejak diberi label Kreatif pada 2001, sekolah di Baratajaya I itu memang menjadi salah satu pilihan orang tua menyekolahkan anaknya. Sebelumnya, menurut Heru, kondisi sekolah tersebut cukup memprihatinkan. Muridnya tidak banyak, hanya 60-70 anak. ''Banyak yang tidak mau sekolah di situ. Padahal, iurannya murah, hanya Rp 15 ribu,'' papar pria asli Surabaya tersebut.

Pelabelan Kreatif itu dibarengi publikasi melalui kain rentang warna-warni yang dipasang di beberapa sudut jalan. Logo sekolah dimodifikasi menyerupai balon, sehingga terkesan lucu dan menyenangkan. Para guru menyosialisasikan kepada masyarakat melalui buletin.

''Kebetulan, saat itu akhir Ramadan 2001. Saat salat Idul Fitri, sekolah membagikan buletin dan brosur tentang sekolah kreatif,'' jelas Heru. ''Tak sedikit warga yang bertanya-tanya, kok ada sekolah baru,'' lanjutnya.

Tim penerimaan siswa baru juga proaktif dengan cara jemput bola. ''Kalau ada yang mau daftar (sekolah), bisa kami datangi ke rumahnya,'' kata pria 49 tahun tersebut.

Untuk memberi kesan kreatif, Heru menyediakan tempat khusus untuk menerima pendaftaran siswa yang terbuat dari bambu di depan sekolah. ''Kami sudah menunjukkan kreativitas, walaupun gedung masih jelek,'' ungkapnya.

Usaha kreatif dan kerja keras tersebut membuahkan hasil. Tak sedikit orang tua siswa yang menyekolahkan anak mereka ke SDM Kreatif 16. Semula, sekolah hanya menargetkan satu kelas berisi 25 siswa. Ternyata, peminatnya berlebih, sehingga dibuka satu kelas lagi. ''Padahal, SPP dinaikkan menjadi Rp 150 ribu dari yang semula Rp 15 ribu,'' kenang Heru.

Ditemui di sekolah itu, Heru sedang membuat konsep outbound untuk siswa. Rencananya, semua siswa, mulai kelas I-VI, melakukan outbound di Kebun Teh Lawang, Malang. Mereka akan menginap di tempat itu tanpa didampingi orang tua masing-masing. ''Selain bisa bebas bermain, mereka bisa melihat pembuatan teh secara langsung,'' jelas pria berambut sebahu itu.

Belajar secara out door merupakan salah satu ciri sekolah kreatif. ''Misalnya, kalau kita memberi pelajaran tentang perhitungan suara dalam pemilu, yah kita bawa siswa ke KPU (Komisi Pemilihan Umum, Red),'' katanya. Tak jarang mereka mengundang guru tamu sesuai tema pembelajaran.

Yang tak biasa pada siswa-siswa SDM Kreatif 16 itu, mereka bebas tidak memakai seragam sekolah. ''Itu kebijakan yang demokratis bagi anak-anak. Mereka tidak bisa dipaksa menggunakan seragam,'' ujar Heru.

Kebijakan tersebut semula dianggap aneh oleh sebagian orang. Bahkan, tak sedikit yang mengatakan tidak cocok diterapkan di sekolah formal. Namun, Heru dengan konsepnya ingin membuat anak-anak belajar secara enjoy, tidak merasa tertekan oleh peraturan seragam sekolah. ''Kami ingin memberikan pendidikan yang memanusiakan anak didik,'' tegasnya. Termasuk, pada anak-anak autis yang juga diterima masuk sekolah itu.

Pada perkembangannya, sekolah yang dulu tak laku tersebut kini punya grup band hip hop Islami. Grup itu sering diundang manggung di stasiun TV. Juga, ada ekstrakurikuler barongsai. ''Bakat anak harus dikembangkan melalui berbagai kegiatan yang sesuai potensi mereka,'' katanya.

Konsep SDM Kreatif yang digagas Heru tersebut kini cukup diminati. Buktinya, ada tiga SDM lain yang kini berlabel Kreatif. Yaitu, SD Muhammadiyah Kreatif 20 Surabaya; SD Muhammadiyah Kreatif 2 Tulangan, Sidoarjo; dan SD Muhammadiyah Kreatif 2 Bangil. ''Sekolah-sekolah itu punya latar belakang yang sama,'' jelasnya.

Tak banyak yang tahu sebetulnya Heru -formalnya- tak punya latar belakang ilmu pendidikan. Dia lulusan SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan) di Lawang, Malang, setingkat SMA. Begitu lulus -sekitar 1980-, dia bekerja di perusahaan asuransi di Surabaya. ''Saya tidak sempat kuliah karena harus kerja,'' ungkapnya.

Belum lama di perusahaan asuransi, dia pindah kerja di apotek, kemudian pada 1982 pindah lagi ke pabrik besar farmasi (PBF). Selama itu, dia tetap menjalani hobinya, menggambar. ''Kebetulan, saya suka nggambar sejak SMP,'' kata pria berjenggot tersebut.

Ketidakpuasan pada kondisi, kebijakan pemerintah yang kadang diskriminatif, dan segala bentuk protesnya disalurkan lewat karikatur dan kartun. Karyanya tersebut dia kirimkan ke media massa. ''Setelah dua tahun, karikatur saya akhirnya dimuat di media massa,'' tuturnya.

Karena sudah bisa hidup dari karikatur dan kartun, Heru memutuskan keluar dari PBF dan fokus tekun menggambar. Pada 1986, dia berhasil menjuarai lomba karikatur tingkat nasional yang diadakan salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya.

Tak lama, dia ditawari bekerja di Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Surabaya bagian laboratorium biologi. Sebab, dia dinilai punya pengalaman di bidang farmasi. Itulah kali pertama dia bersinggungan dengan dunia pendidikan.

Dia kemudian juga bekerja di SD Muhammadiyah 4 Pucang, bagian perekonomian sekolah. Meski jam kerjanya padat, Heru tetap menyempatkan menggambar. Pagi di SDM 4 Pucang, sore di Unmuh, malam waktu untuk menggambar.

Ketika di SDM 4 tersebut, hati kecilnya sering berontak. Heru merasa tidak cocok dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah itu. Dia melihat banyak anak merasa terbebani saat masuk sekolah. ''Mereka membawa tas besar seperti mau camping saja,'' ungkap suami Sri Aminingsih itu.

Berbeda saat mereka pulang sekolah. ''Anak-anak merasa gembira, seperti bebas dari penjara,'' ujarnya.

Heru tidak bisa berbuat banyak karena posisinya tidak bersinggungan langsung dengan kebijakan sekolah. Satu-satunya jalan yang dia tempuh adalah mendiskusikan ide kreatifnya dengan para guru. ''Secara pribadi, para guru setuju dengan ide tersebut. Tapi, mereka tidak bisa menerapkan,'' kata bapak dua anak itu. ''Sekolah itu kan sudah mapan, jadi tidak mungkin menerapkan ide saya,'' lanjutnya.

Meski begitu, Heru terus mengajak beberapa temanya membahas konsep sekolahnya tersebut. Sampai suatu ketika, dia menawarkan ide itu kepada pimpinan cabang Muhammadiyah (PCM) Ngagel -waktu itu- Sukardi H.P. Ternyata, Sukardi setuju. Heru pun diberi kesempatan mengembangkan SD Muhammadiyah 16 tersebut.

Di sekolah itu, Heru bukan menjadi pengajar, melainkan penggodok konsep pembelajaran. Meski begitu, kadang wali siswa ingin menemuinya sebelum memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Misalnya, Sabtu siang pekan lalu, seorang calon wali siswa meminta bertemu Heru. Pria kurus itu pun langsung menutup laptopnya, menemui tamu tersebut dan mengajak perempuan berkerudung itu keliling sekolah sambil menjelaskan segala sesuatunya.
--------------

Sebelumnya saya juga sering melihat spanduk sekolah ini, dibeberapa tempat strategis di sekitarnya. Isi spanduk sering kali acara seminar, sarasehan, talkshow yang mengundang tokoh-tokoh terkenal. Yang pernah diundang seperti: Din Syamsudin, Daniel Sparinga, Emha Ainun Najib, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Ingin tahu lebih lanjut tentang sekolah ini, silahkan klik: www.sekolahkreatif.com

Semoga bermanfaat dan memberi inspirasi.

Salam pendidikan,
Markus Tan
www.best-camp.com

Nasib Sekolah Katolik Bagian #3

“Belajar dari Sekolah Muhammadiyah Kalimantan”

Sebelum membahas tentang membangun sekolah Katolik yang unggul, ada baiknya kita melihat beberapa contoh sekolah dengan kondisi yang serupa. Kali ini saya berbagi tentang sekolah yang berada di daerah pedalaman. Sekolah Muhammadiyah Sangata. Semoga menambah wawasan dan pemahaman kita tentang diluar sekolah Katolik. Kisah ini tentang perjuangan Joko Wahyono, bagaimana mengubah sekolah minus menjadi sekolah maju dan berhasil.

Berikut ini Kondisi sekolah Muhammadiyah Sangata tahun 1998
1. Yayasan Penyelenggara sekolah tidak kompeten
Struktur organisasi yayasan tidak berfungsi, beberapa personel mempunyai semangat yang tinggi, namun tidak memiliki kompentensi untuk memimpin penyelenggaraan sekolah. Dengan demikian organisasi berjalan datar dan apa adanya.

2. Bangunan sekolah terbatas dan memprihatinkan
Apakah anda sudah melihat film laskar pelangi? Gedung sekolah yang digambarkan dalam film tersebut mirip bangunan SD Muhammadiah Sangata. Satu gedung memiliki 5 ruang, 4 ruang digunakan kelas, sedangkan 1 ruang untuk kepala sekolah, ruang guru, tata usaha dan BP. SD memiliki 6 kelas siswa, sedangkan hanya ada 4 ruang kelas. Akibatnya ada 2 ruang kelas yang dipakai bersama dengan diberi sekat ruang. Sore harinya bangunan tersebut digunakan untuk SMP yang memiliki 3 kelas.

3. Lokal sekolah yang bermasalah
Bukan milik sendiri, tapi diakui milik wilayah Taman Nasional Kutei.

4. Keuangan kembang kempis
Sumber keuangan dari iuran SPP dan iuran simpatisan tidak dikelola dengan baik. Rata-rata jumlah murid per kelas 15 orang untuk SD dan SMP dengan SPP Rp. 5000 sampai Rp. 10.000/bulan.

5. SDM tidak berkualitas dan tidak kompeten
Rata-rata guru tidak memiliki ijasah yang layak untuk mengajar, terutama untuk guru SMP
6. Tidak ada semangat dan gairah untuk berusaha

Melihat berbagai kondisi tersebut, maka Ketua Yayasan yg baru, Joko Wahyono menyimpulkan sekolah tersebut “Mustahil” untuk berkembang. Dengan lokasi di daerah terpencil di Sangata, 70 km dari Bontang, Kalimantan. Karena dianggap yayasan tidak memiliki hampir semua persyaratan sekolah untuk berkembang.

Bahkan pihak yayasan berpikir untuk menutup sekolah tersebut, dan membuat sekolah baru di lokasi lain yang lebih menjanjikan masa depan guru, sekolah dan organisasi.

Namun sejumlah pertanyaan ini membuat mereka mengurungkan niat tersebut. Mereka mulai dari pertanyaan:
- Apa yang membuat sekolah ini bisa bertahan?
- Bagaimana caranya sekolah yang tidak memiliki uang masih bisa beroperasi?
- Apa yang dilakukan untuk menutupi kekurangan fasilitas?
- Bagaimana strategi membangun sekolah terbaik?

Mereka memfokuskan pada nilai-nilai positif yang masih dimiliki Muhammadiyah.
Dari serentetan pertanyaan tersebut, akhirnya ketua yayasan yang baru menemukan jawabannya. Sekolah ini ternyata memiliki kekuatan yang mungkin jarang dimiliki oleh sekolah lain yaitu kekuatan semangat, kekuatan nilai, loyalitas dan komitmen tinggi.

Secara ringkas langkah-langkah yang dilakukan yayasan Muhammadiyah:
1. Menciptakan organisasi yang sehat
Mencari hubungan kerja yang cocok antara yayasan dan kepala sekolah. Analisis Pak Joko, jika pola komando diterapkan, sekolah akan bergantung pada pemberi komando yaitu Yayasan. Sedangkan para pengurus yayasan bukanlah orang yang memiliki waktu yang cukup dan selalu siap di tempat jika dibutuhkan sekolah. Juga seringkali terjadi ketergantungan pihak kepala sekolah / guru, dan rasa takut berbuat salah dalam pengembangan sekolah. Sehingga tugas kepala sekolah/guru hanya sebatas menjalankan tugas, dan minim hal-hal kreativitas. Tugas Pengembangan sekolah sepertinya menjadi wewenang yayasan.

Berkat pengalaman Pak Joko Wahyono sebagai kepala sekolah, akhirnya dia menentukan yayasan dengan pihak sekolah dalam hubungan yang dinamis, terbuka, jujur, berkomitmen dan menghindarkan diri dari conflict of interest. Dalam pelaksanaannya, lebih banyak sebagai konsultan dan memberi kepercayaan kepada kepala sekolah dan membantu permasalahan yang dihadapi.

2. Menyiapkan SDM yang handal dan berhati mulia
Dengan memiliki konsep sekolah yang jelas, mulailah yayasan mencari figur kepala sekolah yang kompeten.Sebab kepala sekolah merupakan ujung tombak keberhasilan sebuah sekolah. Dengan menjual ‘konsep’ sekolah yang baru, yayasan mulai ‘berburu’ kepala sekolah dengan cara bersilahturahmi ke tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, para birokrat, pengusaha atau pada acara social. Satu hal lagi yang paling penting adalah menyeleksi para guru dan SDM yang ada, dan meminta komitmen yang mau mulai lagi dari nol.

3. Strategi mendapatkan murid baru
Memasarkan sekolah SMK (STM) yang tidak punya gedung, tidak punya fasilitas dan tidak punya dana, memerlukan perjuangan ekstra keras. Langkah pertama yang dilakukan adalah mendapatkan surat rekomendasi dari perusahaan-perusahaan untuk bekerja sama sebagai tempat praktek siswa. Gayung pun bersambut, karena semua perusahaan menyambut rencana tersebut. Surat rekomendasi yang berlogo perusahaan sangat efektif sebagai alat marketing untuk mendapatkan siswa baru. Misalnya dalam membuat spanduk dan brosur, sekolah bekerja sama dengan perusahaan. Di dalam brosur, pihak sekolah menjual konsep diantaranya SDM yang berkualitas, lulusan siap kerja, dukungan perusahaan tempat prakek kerja, dukungan pemerintah, tokoh pendidikan serta tokoh masyarakat. Hasilnya diluar dugaan, sekolah tersebut memperoleh lebih dari 200 calon siswa mendaftar. Padahal daya tampung sekolah hanya 120 siswa. Promosi tahun berikutnya menjadi mudah karena siswa yang praktek di beberapa perusahaan ternyata mendapatkan uang saku, transport dan uang makan yang cukup. Tentu saja informasi ini langsung menyebar dan mengharumkan nama sekolah SMK tersebut.

4. Menyiapkan gedung dan fasilitas belajar
Untuk menyiasati gedung yang tidak layak, yayasan mencari pinjaman ke pemda, gedung sekolah negeri terdekat. Akhirnya berhasil diperoleh sebuah gedung SD negeri, dan akhirnya dilakukan pengecatan secukupkanya dengan dana 1 juta rupiah. Berkat penerimaan siswa baru, mendapatkan uang gedung sebesar 120 @350 ribu atau 42 juta. Uang tersebut dialokasikan untuk berbagai kebutuhan, yaitu 7 juta untuk membeli fasilitas belajar, yang 35 juta untuk membangun gedung sekolah sendiri di tanah milik yayasan.

Membangun gedung dengan uang 35 juta apakah itu cukup? Tentu saja tidak cukup. Meski membuat bangunan dengan bahan kayu, uang tersebut hanya cukup tiang bangunan dan atap sirap untuk 3 ruang kelas. Tanpa dinding dan belum ada lantainya. Namun berkat uang awal itu, mengalirlah bantuan dari berbagai pihak yang menyumbang berbagai macam material seperti kayu gelondongan dari perusahaan setempat. Juga material lain dari masyarakat. Menjelang tahun ajaran baru berikutnya, pihak yayasan mulai berani meminjam atau utang bahan bangunan ke pihak lain. Akhirnya gedung sekolah tersebut selesai juga meski dalam kondisi pas-pasan.

Melihat perkembangan sekolah yang begitu pesat, mengalirlah kepedulian dari masyarakat, perusahaan dan tokoh agama, juga dari pemerintah setempat.

5. Program pembelajaran profesional
Materi pembelajaran tidak hanya teori, juga dilengkapi skill dan praktek yang seimbang, dengan cara:
a. Pengajaran ibadah praktis, meningkatkan Imtaq (iman dan takwa)
b. Program One corporate one school. Sekolah harus menjadi bagian dari perusahaan
c. Program wirausaha. Jiwa entrepreneur dan menghasilkan lulusan yang memiliki skill.
d. Program Social School Responsibility (SSR), kepedulian terhadap masyarakat

6. Menjaga keharmonisan dan iklim yang kondusif
Secara perlahan yayasan juga harus seimbang mengupayakan kepentingan dan kesejahteraan para guru. Di tahun pertama mungkin para guru bisa mengerti untuk diajak berkomitmen demi kepentingan sekolah, namun harus segera memberi penghargaan atas dedikasi di tahun berikutnya. Untuk menjaga keharmonisan hubungan, yayasan melibatkan kepala sekolah, para guru, staf dalam merencanakan pengembangan sekolah. Untuk menjaga kesejukan hati, setiap bulan diadakan acara rohani dan even tertentu diadakan acara kekeluargaan.

Berkat usaha yang gigih dan pantang menyerah, dalam waktu 4 tahun (dari 1999 sd 2003) Sekolah Muhammadiyah yang terdiri dari SD, SMP dan SMK menjadi sekolah berprestasi.
Dari kas awal yayasan 3,5 juta menjadi saldo kas 2,9 milyar di tahun 2004.
Ditambah lagi dengan asset :
• Tanah seluas 1 hektar
• Lahan pengembangan seluas 3 hektar
• Bangunan seluas 275 m2 di lokasi strategis
• Mendirikan sekolah baru SMK Muhammadiyah dengan 18 ruang kelas. Dan memiliki sarana prasarana yang meliputi: 4 ruang workshop, ruang ITC, perpustakaan, 10 ruang toilet dll.

Yang membanggakan, sekolah ini menjadi salah satu sekolah berprestasi:
• Menghasilkan penemuan peralatan baru yang berhasil dibuat siswa.
• Peringkat I UNAS tahun 2003/2004 tingkat SMK se Kalimantan Timur
• Prosentasi lulusan tertinggi untuk SMK se Kalimantan Timur
• 15 persen sudah direkrut perusahaan sebelum siswa lulus.
• 90 persen para siswa langsung diterima kerja setelah lulus.
• Guru berprestasi tingkat SMK ke Kalimantan Timur
• Juara 1 Lomba karya tulis tingkat pelajar.

Semoga ulasan ini bermanfaat dan menambah semangat demi memajukan Sekolah Katolik.

Salam pendidikan,
Markus Tan

Nasib Sekolah Katolik Bagian #2

Pada tulisan yang lalu, kita melihat situasi dan kondisi beberapa sekolah katolik di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kali ini saya ingin membahas tentang apa akar penyebab merosotnya Sekolah Katolik di beberapa daerah. Jika saya melihat permasalahan sekolah katolik yang begitu kompleks, saya jadi teringat kata-kata Bapak Budiono (Wapres kita), bahwa telah terjadi kondisi sistemik di dalam Lembaga Penddikan Katolik.

Saya membagi menjadi 2 alasan penyebab sekolah Katolik mengalami kemunduran:
A. Alasan Internal
B. Alasan Eksternal

Mari kita lihat bersama alasan internal (7S) dan eksternal (6P) berikut ini:
A. Alasan Internal
Beberapa alasan internal terdiri dari:
1. Stake Holder.
2. Strategi Management
3. SDM (adalah guru dan staf pendidikan)
4. Sarana & Prasarana
5. Sumber dana
6. Sistem Kurikulum
7. Sistem Pembelajaran
B. Alasan Eksternal

Sedangkan alasan eksternal adalah sesuatu atau hambatan diluar sekolah atau yayasan.
Saya tidak bermaksud mengkambing hitamkan pihak luar atas merosotnya sekolah katolik. Namun sisi eksternal ini ikut berpengaruh mengapa sekolah katolik menjadi terpuruk.
1. Program Pemerintah
2. Perubahan Standar Pendidikan
3. Perubahan yang Dinamis
4. Persaingan antar sekolah
5. Pandangan Masyarakat
6. Partisipasi Gereja & Umat

Mari kita lihat satu persatu alasan internal berikut ini:
1. Stake Holder
Adalah para penentu kebijakan sekolah katolik diantaranya: Keuskupan, Pastor/Suster, Pengurus Yayasan.
a. Pastor sby pimpinan yayasan
Bila kita amati seksama, beberapa sekolah yang berkualitas, lebih banyak dikelola oleh tarekat, kongregasi. Mari kita lihat beberapa sekolah favorit berikut
• Di Surabaya : Sekolah St. Maria dikelola oleh Suster Ursulin. SMAK St. Louis, oleh Romo CM, SMAK Frateran oleh Frater BHK, Sekolah Santa Clara oleh para Suster MC.
• Di Jogjakarta: SMAK Van Lith, SMAK Stella Duce
• Di Bogor: Sekolah Regina Pacis
Mengapa sekolah diatas bisa berhasil? Bisa jadi komitmen kuat dari tarekat dan pemimpin yayasan. Mereka memiliki misi yang harus terus hidup, dan perlu pendanaan, salah satunya sumber dana dari sekolah yang mereka kelola.

Sementara sekolah dibawah yayasan keuskupan, dikelola oleh para pastor yang juga berkarya di paroki setempat. Mereka dipilih tentu saja memiliki semangat tinggi dalam melayani umat. Kelebihannya, memiliki wawasan dan paham tentang misi Gereja dalam bidang pendidikan. Namun ada beberapa kekurangan yang kadang kurang mendukung kemajuan sekolah:
• Disamping berkarya di sekolah katolik, mendapat tugas juga di paroki, sehingga tidak bisa berkonsentrasi penuh memikirkan kemajuan sekolah.
• Sekolah yang ditangani kadang jumlahnya cukup banyak. Misal: di Cepu dan Rembang, masing-masing ada 8 sekolah. Demikian juga di tempat lain.
• Sebagian besar para Pastor pimpinan yayasan, tidak dari background kependidikan, atau tidak memiliki kemampuan dibidang pendidikan. Jadinya kurang bisa memahami permasalahan yg dialami sekolah Katolik. Sehingga tidak ada terobosan berarti yang bisa mendobrak kebuntuan sekolah katolik yang terus menurun.
• Yayasan tidak memiliki tim penelitian dan pengembangan bagi kemajuan sekolah. Misalnya di Yayasan Yohanes Gabriel keuskupan Surabaya yang memiliki 152 sekolah. Mungkin yayasan memiliki tim pengembangan, namun tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan. Padahal tim ini tugasnya amat strategis, untuk mengisi dan melengkapi kelemahan karena tugas-tugas Pastor yang begitu banyak. Kepada tim inilah Pastor selaku pimpinan yayasan, bisa bekerja sama dan mengembangkan kemajuan sekolah.

2. Strategi & pengelolaan management
a. Lemahnya kualitas SDM dalam hal kemampuan akademik, manajerial dan kepemimpinan sehingga sulit menghadapi persaingan yang semakin ketat.
b. Lemahnya manajemen sekolah dalam mem-fungsikan (merencanakan, mengorganisir, menggerakkan, mengendalikan, mengevaluasi) unsur-unsur manajemen (SDM, sarana prasarana, finansial, kurikulum, informasi.)
c. Lemahnya manajemen sekolah dalam rekrutmen pegawai, pembinaan pegawai, penghargaan pegawai dan pemutusan hubungan kerja pegawai.
d. Lemahnya akuntabilitas dan transparansi tata kelola penyelenggaraan pendidikan.
e. Manajemen pembinaan terhadap guru, tenaga administrasi dan tenaga pelaksana masih lemah

3. SDM (guru dan staf pendidikan)
Prof. Thomas Armstrong, pakar pendidikan Amerika menyatakan Sekolah Unggul adalah sekolah yang berfokus pada “Kualitas Proses Pembelajaran”. Kualitas Pembelajaran bergantung pada kualitas para pengajar. Jadi Sekolah Unggul: sekolah yang para pengajarnya mampu menjamin semua siswa akan dibimbing kearah perubahan yang lebih baik (sesuai visi misi pendidikan) membangun kualitas akademis, karakter dan kepribadian para siswa. Sangat jelas peran guru yang menjadi faktor utama sebuah sekolah bisa menjadi terbaik atau tidak.

Untuk itu, guru di sekolah Katolik, tetap memegang kunci terhadap maju mundurnya Sekolah Katolik. Peran guru di Sekolah Katolik adalah sebagai agen pembaharuan dan pelaku perubahan serta pendidik karakter bagi para siswa. Di samping sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sebagai figur dan teladan, mengajarkan keluhuran, keutamaan dan kebaikan. Maka dari itu guru hendaknya bermutu dalam kepribadian dan kerohanian yang mendukung tugasnya sebagai orang yang bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar siswa.

Sementara di sekolah-sekolah katolik saat ini, masih banyak beberapa kelemahan para pengajar, kepala sekolah maupun staf pendidikan, diantaranya:
a. Standar Kompetensi guru yang kurang
Standar guru yang disyaratkan pemerintah dalam mencapai Standar sekolah nasional adalah min 80% para guru memiliki ijasah S1, bahkan diharapkan beberapa guru memiliki gelar S2.
b. Pelatihan guru & staf
Sekolah yang bagus adalah sekolah yang memiliki program pengembangan dan pelatihan para guru. Namun di sekolah katolik sering kali hanya setahun atau satu semester sekali, misal: retret, rekoleksi, pembinaan.
c. Kualitas Kepala Sekolah
Ini salah satu yang terjadi di sekolah katolik, yaitu krisis kepemimpinan. Sering kali pihak yayasan kesulitan mencari figur kepala sekolah yang memiliki visi ke depan dan memiliki jiwa leadership yang kuat.
d. Semangat & Motivasi
Lemahnya pemberian hak gaji guru, sehingga motivasinya lemah dan banyak guru berkualitas lari menjadi pegawai PNS/ lembaga lain.

e. Strategi Pengajaran
Hampir 90 persen para guru di sekolah Katolik tidak memiliki cukup strategi pengajaran yang benar-benar ramah otak. Sering kali guru hanya menggunakan metode pengajaran: “proses belajar mengajar menurut gaya saya”. Dan ditambah lagi miskin alat peraga pendidikan dan aktivitas. Ya, karena ini juga berhubungan erat dengan dana. Diperlukan pelatihan yang berjenjang untuk meningkatkan kompetensi pengajaran para guru.
f. Guru DPK
Dari pihak pemerintah semakin meningkatnya kemandirian yayasan, mendorong pemerintah mengurangi pendropan guru-guru negeri ke sekolah-sekolah katolik. Sehingga semakin berkurangnya jumlah guru-guru negeri yang diperbantukan (DPK) ke sekolah-sekolah katolik.

Sementara dilema dilapangan, komitmen guru DPK tidak sesuai yang diharapkan. Banyak yayasan/sekolah mengeluhkan dedikasi guru-guru yang diperbantukan oleh pemerintah. Meski mereka digaji dari anggaran pemerintah, namun karena merasa bukan digaji oleh yayasan, banyak guru DPK bekerja semaunya sendiri. Akibatnya loyalitas kepada sekolah kendor.

Berkurangnya guru negeri yang diperbantukan dan meningkatnya guru yayasan yang dipekerjakan jelas membawa konsekuensi keuangan yang tidak kecil bagi yayasan. Dan ini tidak murah!. Berbeda dengan sekolah negeri yang semua dananya disubsidi pemerintah, sekolah swasta termasuk sekolah katolik menggantungkan pendanaan dari orang tua murid. Tak heran semenjak mendaftarkan diri ke sekolah, yayasan sudah menjelaskan konsekuensi memasuki sekolah tersebut.

g. Usia guru
Usia guru sebenarnya tidak berpengaruh, selama para guru mau diajak untuk melakukan perubahan. Namun, berdasarkan pengalaman, yang terjadi semakin banyak usia tua, semakin tidak mudah untuk diajak melakukan perubahan dan cara-cara baru. Mereka cukup puas dan nyaman dengan cara mengajar yang sudah mereka lakukan selama bertahun-tahun.

4. Sarana & Prasarana
Menurut panduan dinas pendidikan, prasarana pendidikan mencakup standar minimal yang wajib dimiliki oleh sekolah yaitu ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi dan jasa, tempat berolahraga, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Standar sarana pendidikan mencakup persyaratan minimal tentang perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Sedangkan kebanyakan kondisi di Sekolah Katolik: gedung lama yang kurang terawat, karena perlu biaya besar bila dilakukan renovasi. Sarana bangku, fasilitas parkir, laboratorium model lama, alat-alat penunjang yang kurang layak pakai. Sebetulnya pihak yayasan ada keinginan kuat untuk memperbaiki sarana dan prasarana, hanya lagi-lagi terbentur masalah anggaran dana yang terbatas.

5. Sumber dana
Peningkatan mutu pendidikan akan dapat berjalan dengan lancar jika didukung dana pendidikan yang memadai sehingga sarana prasarana pendidikan dapat diciptakan dalam rangka mendukung peningkatan mutu tersebut. Perlunya dana pendidikan bukanlah hanya untuk jangka pendek melainkan jangka panjang. Beberapa keuskupan sudah ada gerakan penggalangan dana pendidikan untuk kemajuan sekolah Katolik. Berupa sumbangan sukarela dari umat, pengusaha yang menaruh perhatian pada pendidikan katolik, para alumni sekolah yang peduli. Gerakan penggalangan dana ini hendaknya menjadi sebuah gerakan umat untuk meningkatkan kualitas pendidikan katolik.

6. Sistem Kurikulum
Sekolah Katolik merupakan salah satu karya kerasulan Gereja, maka pendidikan Katolik diharapkan mentaati dan mewujudkan harapan Gereja. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mewujudkan semangat dasar sekolah katolik yang setia mencerdaskan bangsa, setia terhadap ciri khas Katolik, dan setia terhadap spiritualitas pendiri. Dengan demikian dimensi religiuslah yang membedakan sekolah Katolik dengan sekolah lain. Sekolah katolik masih menjadi harapan masyarakat karena sekolah katolik memberikan nilai-nilai kristiani antara lain dalam wujud kedisiplinan, kasih dan persaudaraan, kepedulian, serta solidaritas.

Namun dalam kenyataannya sekolah katolik, kurang paham bagaimana mewujudkan visi dan nilai-nilai kristiani ke dalam sebuah kurikulum sekolah katolik. Dengan adanya KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan), sebenarnya peluang besar bagi sekolah katolik untuk mewujudkan visi dan misi kekatolikan. Diknas Pendidikan sudah memberikan jalan melalui KTSP sejak 2006, sedangkan Gereja atau Penyelenggara sekolah saya lihat terlambat menanggapi. Program yang ada saat ini hanya sebatas program retret siswa, rekoleksi, pembinaan iman, misa sekolah. Namun belum Nampak sebuah program yang jelas di dalam kurikulum yang menyentuh pembangunan karakter dan nilai-nilai katolisitas. Sementara saya mengamati di sekolah-sekolah muslim sudah memasukkan konten (isi) berciri khas islami ke dalam kurikulum mereka. Seperti sekolah Muhammadiyah, Sekolah Lazuardi Insan Khamil, Al Azhar, Al Ikhlas, Al Hakim dll.

7. Sistem Pembelajaran
Seperti yang telah disampaikan Thomas Armstrong, Sekolah unggul adalah sekolah yang memiliki kualitas proses pembelajaran. Jadi proses pembelajaran adalah jantung dari sebuah sekolah yang baik.

Nah bagaimana system pembelajaran yang terjadi di sekolah katolik?
• Pembelajaran yang teacher oriented. Hampir 70 persen berpusat pada guru
• Pembelajaran didominasi ceramah klasikal. Padahal pembelajaran yang terbaik saat ini adalah berbasis aktivitas (experience learning)
• Miskin alat peraga, guru sebagai sumber pengetahuan dan papan tulis sebagai media pembelajaran.
• Miskin strategi pembelajaran. Seringkali hanya metode ceramah yang dipakai. Padahal banyak sekali strategi pembelajaran bagi siswa melalui: multisensori yang kaya akan ‘experience’ seperti: poster, musik, movie learning, fun games, drama, cerita, panggung terbuka dll.

Oleh karena itu, para guru di sekolah katolik, perlu di-upgrade skill dan kemampuannya, sehingga bisa menyajikan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Untuk meng-upgrade kemampuan mengajar para guru diperlukan pelatihan yang berkesinambungan. Dan ini kembali lagi pada keterbatasan dana yang dimiliki yayasan.

Sementara sekolah-sekolah yang lain sudah menerapkan beberapa system pembelajaran spt:
1. BCCT (beyond center and circle time). Sistem pembelajaran dimana guru-guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupannya sehari-hari. Banyak diterapkan di sekolah PG-TK dan SD.
2. Metode ICT
Metode pembelajaran berbasis computer dan teknologi, seperti penggunaan sarana multimedia. Untuk metode ini memang diperlukan anggaran yang sangat besar. Namun mengapa ada sekolah yang menerapkan? Mungkin memiliki nilai jual dan gengsi tinggi yang memanfaatkan teknologi, sehingga bisa sebagai promosi untuk siswa baru.
3. Multiple Intelligences in classroom Sekolah yang sudah menerapkan ini spt: Sekolah Lazuardi, Jaringan sekolah SDIT, Sekolah YIMA, YIMI, Muhammadiyah, Al Hikmah, Mutiara Ilmu, Al Fallah, Cakra Buana. Belum saya ketahui dari sekolah katolik yang menerapkan metode multiple intelligences.
4. Service Learning, Environment Learning, Fieldtrip education dll.

Agar memiliki system pembelajaran yang terbaik, memang pihak sekolah perlu melakukan kerjasama dengan lembaga / konsultan pendidikan yang paham dan kompeten. Seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang saya sebutkan diatas.

Nah kita sudah mengetahui beberapa alasan internal menurunnya sekolah katolik. Berikut beberapa alasan eksternal yang turut mempengaruhi menurunnya sekolah katolik:

1. Program Pemerintah
Program pemerintah dibidang pendidikan adalah sangat bagus demi meningkatkan kualitas pendidikan.
Ini dimungkinkan setelah dana APBN untuk pendiikan disetujui sebesar 20%.

Beberapa program yang tengah berjalan adalah:
a. Program sekolah gratis SD / SMP Negeri.
Walaupun hanya SPP yang gratis, namun ini sudah menyedot animo masyarakat utk memperebutkan bangku di sekolah negeri. Semakin lama, terjadi perubahan minat yang sebelumnya ke sekolah katolik atau swasta, mereka lebih memilih sekolah negeri sebagai pilihan pertama. Untuk di kota besar spt: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang mungkin dampaknya tidak begitu berpengaruh. Namun untuk di sekolah katolik di daerah, dampaknya sangat terasa secara langsung. Karena biaya sekolah dan biaya hidup semakin lama semakin tinggi.

b. Program RSBI bagi sekolah percontohan di masing-masing kota.
Tujuan pemerintah cukup bagus dengan program RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Menjadikan sekolah di Indonesia bertaraf Internasional, sister city dengan Lembaga Internasional, spt: Cambridge, USAID, AUS dll.

Harus diakui program RSBI telah menjadi magnet bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Karena RSBI memiliki banyak keunggulan dimata orang tua diantaranya:
• Menerapkan kelas bilingual, proses belajar dalam bahasa Inggris dan diwajibkan mempelajari satu bahasa asing lain.
• Fasilitas kelas multimedia, dan internet.
• Memiliki standar management, dengan adanya sertifikasi internasional ISO 9001:2008
• Guru-guru standar internasional lulusan S1 dan S2
• Ekstrakurikuler yang menunjang spt: Robotic, OSN dll.
• Kerja sama (sister School) dengan pihak luar negeri
• Memiliki kebanggaan tersendiri dll.
• Adanya program akselerasi kelas. Dimana sekolah 3 tahun bisa dicapai dalam waktu 2 tahun.

Dan minimal ada 1-2 sekolah RSBI (tingkat SMP/SMA) di setiap kota/kabupaten, termasuk kota-kota kecil spt: Lumajang, Lamongan, Bangil, Bojonegoro dll. Ini yang membuat sekolah Katolik di daerah dalam kondisi terjepit oleh sekolah negeri dan swasta.

Sedangkan sekolah swasta juga gencar menghimpun dana, berusaha mengejar standar RSBI. Dengan cara sertifikasi ISO, sister school dengan sekolah luar negeri, penerapan metode pembelajaran yang terbaik dan pembangunan fasilitas sekolah. Mereka berusaha menonjolkan potensi yang dimiliki sekolah. Otomatis dana yang dibutuhkan cukup besar, misalnya untuk sertifikasi ISO perlu dana min. 100 juta untuk satu sekolah yang bisa makan waktu 2 tahun, pelatihan upgrade pengajar min. 50 juta, belum pembangunan fasilitas, lab komputer dll yang butuh dana ratusan juta. Ini hanya untuk satu sekolah, bisa dibayangkan Gereja yang memiliki ratusan sekolah.

Sekolah swasta yang sudah bertaraf internasional misal: Sekolah Ciputra, Cita Hati, Citra Berkat, Morning Star, yang kebanyakan berada di kota besar. Disamping itu sekolah swasta berusaha unggul di satu bidang, misal unggul dibidang entrepreneur, prestasi olimpiade sains, kegiatan ekstra, ciri khas islami dll.

2. Perubahan Standar Pendidikan
Sebelumnya, sekolah dianggap bermutu dan berkualitas, karena anggapan masyarakat spt:
a. Memiliki lulusan yang hebat
b. Mengajarkan nilai-nilai kristiani
c. Memiliki guru-guru yang berkualitas
d. Memiliki jumlah siswa yang banyak
e. Memiliki ekskul yang berbobot
f. Prestasi di beberapa ajang perlombaan. Dll.

Nah bagaimana dengan anggapan sekolah berkualitas di jaman ini? Pemerintah memiliki kriteria standar kualitas pendidikan.
Misal standar Nasional pendidikan harus memenuhi 8 aspek:
a. Standar kurikulum
a. Standar proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan bagi siswa.
a. Kompetensi lulusan yang memiliki kemampuan, sikap, pengetahuan dan keterampilan.
b. Standar pendidik yang berkualitas dan kompeten
c. Sarana & Prasarana yang memadai
d. Standar Pengelolaan dan manajemen
e. Standar Pembiyaan
f. Standar Penilaian
Dari hasil akreditasi, diknas akan memberi sertifikasi untuk sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah standar internasional (SSI).
Dari kriteria ini, maka banyak sekolah katolik yang tertinggal bila harus mengejar standar kualitas yang ditentukan oleh pemerintah.

3. Perubahan yang Dinamis
Perubahan yang terjadi adalah :
a. Adanya krisis moneter yang turut membuat daya beli masyarakat rendah. Banyak orang tua yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke sekolah yang berkualitas, yang berkonotasi mahal. Mereka hanya sanggup menyekolahkan anaknya di sekolah di mana biaya sekolah bisa terjangkau.
b. Perubahan kebutuhan pasar akan kompetensi lulusan yang bisa bersaing di dunia kerja. Misal: kemampuan bahasa asing, keahlian computer, skill entrepreneurship, leadership, trampil dan memiliki kepribadian yang bisa diandalkan. Sudahkah Sekolah Katolik mengantisipasi hal ini?

4. Persaingan antar sekolah
• Adanya image (pandangan) baru di kalangan masyarakat bahwa sekolah unggul (terbaik) saat ini adalah sekolah negeri atau sekolah yang mendapat predikat RSBI, atau Nasional. Sementara Sekolah Katolik tidak menyandang predikat tsb.
• Kualitas sekolah negeri yang semakin bagus dan Pertambahan sekolah negeri yang baru, menambah peta persaingan sekolah katolik
• Adanya penambahan jumlah kelas sekolah negeri, termasuk kelas SBI (akselerasi)
• Bermunculan sekolah baru di sekitar sekolah yang telah ada
• Sekolah negeri semakin agresif meningkatkan kualitasnya dengan ”iming-iming” sekolah murah, gratis
• Sekolah swasta juga mulai melakukan pembenahan, menjual keunggulan dan potensi yang dimiliki seperti: Kelas Bilingual, RSBI, Prestasi OSN, Fasilitas gedung baru, Sister City dengan Cambridge
• Mulai muncul sekolah-sekolah muslim yang berkualitas yang menambah daya saing sekolah Katolik

5. Pandangan Masyarakat
• Biaya sekolah yang semakin tinggi yang tidak terjangkau oleh orang tua, menjadikan sekolah katolik dianggap sebagai sekolah yang mahal. Anggapan negatif ini membuat kepedulian dan kepecayaan umat terhadap sekolah katolik bisa runtuh.
• Mulai tumbuh kesadaran dari keluar muslim, bahwa anak-anak mereka perlu mendapat pendidikan agama dan akhlak sesuai ajaran muslim. Tentu ini akan berpengaruh juga saat mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka.
• Prestasi Sekolah Katolik yang mulai meredup, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap Sekolah katolik semakin lama semakin menurun.

6. Partisipasi Gereja & Umat
• Umat kurang peduli tentang kehadiran Lembaga Pendidikan Katolik sehingga jumlah murid menurun.
• Belum memiliki persepsi yang sama tentang menerjemahkan tugas pewartaan iman di lembaga pendidikan Katolik
• Peran serta Gereja tidak maksimal, bisa dilihat dari minimnya keluarga Katolik menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik.

Demikianlah ulasan saya tentang akar penyebab menurunnya sekolah katolik. Agak sedikit lebih panjang tulisan ini, namun alangkah baiknya bila ini diketahui oleh pihak Gereja, pengelola sekolah katolik dan umat pada umumnya.

Lalu jika kita telah mempetakan berbagai alasan diatas, lantas bagaimana kita menyikapi hal ini? Apa yang harus dilakukan dalam membangun kembali citra Sekolah Katolik yang tengah terpuruk?

Bersambung ke : Nasib Sekolah Katolik Bag. III
“Gagasan Membangun Sekolah Katolik yang Unggul”

Salam Pendidikan,
Markus Tan

* web: www.best-camp.com
* email: tanmarkus@yahoo.com

Nasib Sekolah Katolik Bagian 1

“Sekolah Katolik Bagai Kura-kura di tengah Gajah dan Serigala”

Melihat atensi dan respon di grup Pendidikan Katolik, ada baiknya saya menuliskan beberapa kondisi Sekolah Katolik yang telah saya amati, Semoga bisa menjadi bahan renungan dan diskusi bersama.

* Tulisan ini merupakan bentuk refleksi atas situasi dan kondisi sekolah katolik yang sedang mengalami penurunan kualitas secara drastis.

Salam bahagia dalam lindungan Tuhan

Mengapa saya menulis judul diatas? Apa maksudnya judul tersebut? Judul diatas adalah sebuah metafora, bahwa nasib sekolah Katolik sudah demikian mengkawatirkan. Nasibnya berada di tengah gajah, artinya sekolah negeri dan madrasah yang mendapat bantuan dana penuh dari pemerintah. Dan serigala, artinya pertumbuhan sekolah swasta lain yang demikian pesat dan agresif. Sementara kura-kura, hanya bisa sibuk berusaha bertahan agar tetap hidup. Berbagai keuskupan dan lembaga pendidikan Katolik sebenarnya sudah paham dan menyadari dengan kondisi ini. Seperti Keuskupan Surabaya, melakukan program orang tua asuh dan juga kolekte kedua dan membangun kepedulian sekolah Katolik. Bapa Uskup juga menyampaikan bahwa Sekolah Katolik harus tetap hidup. Bisa diibaratkan bahwa kura-kura memiliki kulit tubuh yang kuat (tameng) jadi ada kemungkinan bisa selamat dan tahan terhadap ganasnya persaingan.

Mari kita flashback kembali ke satu masa, di awal mula sekolah Katolik hadir dengan tujuan mulia turut serta mencerdaskan anak-anak Indonesia. Di era masa lalu, kehadiran Sekolah Katolik mendapat sambutan yang positif bagi umat Katolik sendiri maupun masyarakat setempat. Bahkan sebagian besar di beberapa kota, sekolah Katolik mengalami masa kejayaan. Sekolah Katolik menjadi sekolah favorit bagi pilihan orang tua jika ingin menyekolahkan anak-anak mereka.

Berikut alasan para orang tua memilih sekolah Katolik:
• Kualitasnya tidak perlu diragukan
• Terkenal sangat disiplin
• Memberikan pendidikan nilai-nilai budi pekerti
• Guru-gurunya sangat mumpuni
• Memiliki prestasi yang membanggakan
• Harapan menghasilkan anak-anak yang cerdas dan berbudi luhur
• Mendidik anak-anak dengan baik
• Memberikan dasar-dasar iman Katolik
• Menghasilkan lulusan sekolah yang berhasil dalam karir

Sekolah Katolik di ‘masa’ itu sangat diperhitungkan keberadaannya. Dan para guru/pendidik cukup disegani. Bahkan beberapa guru, ada yang tidak mau menerima tawaran masuk pegawai negeri, karena sudah cukup puas berkarya di sekolah Katolik.

Namun, mengapa sekarang situasinya berbalik hampir 180 derajat? Saat ini Sekolah Katolik seperti mengalami titik nadir terendah dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Jangankan untuk bersaing dengan sekolah lain, untuk bisa survive saja mengalami perjuangan yang tidak mudah. Akhirnya beberapa sekolah harus mendapat subsidi tiap bulan agar bisa beroperasi. Penurunan kualitas termasuk penurunan jumlah siswa, dialami di sejumlah keuskupan. Yang mengalami penurunan cukup besar misalnya Yayasan Kanisius Semarang, Yayasan Sang Timur, Yayasan Sang Putri, Yayasan Yohanes Gabriel Surabaya. Hanya Keuskupan Jayapura yang mengalami kenaikan secara signifikan 13%. Dan Yasukda Nusa Tenggara Timur kenaikan sebesar 11%.

Sebagai contoh: dari 152 Sekolah dibawah yayasan Yohanes Gabriel Keuskupan Surabaya, sekitar 40% yang perlu disubsidi. Besarnya tidak kurang dari 200 juta tiap bulannya untuk menutup gaji para guru/staf dan dana operasional.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dan bagaimana cara mengangkat kembali citra sekolah Katolik di kancah dunia pendidikan? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk di jawab.

Sebelum kita melihat akar penyebab menurunnya sekolah katolik, kami mengajak pembaca melihat situasi dan kondisi beberapa sekolah di Keuskupan Surabaya.

Tahun 2009, saya mendapat kesempatan memberikan pelatihan motivasi kepada para guru dan siswa di beberapa sekolah Katolik di Cepu, Randublatung, Blora, Rembang dan Tuban, juga Pare dan Mojokerto.

Ada baiknya saya menyampaikan beberapa gambaran tentang kondisi sekolah-sekolah tersebut. Bisa jadi potret kondisi ini tidak jauh berbeda dengan situasi dan kondisi sekolah Katolik di tempat lain.

1. Blora
Sekolah Katolik di Blora terdiri dari TK Blora & Jepon, SDK Krida Dharma, SMPK Adi Sucipto, SMA Wijaya Kusuma, SMK St. Pius, yang dibawah tanggung jawab Romo Didik, Pr. Total siswa SMP tidak sampai 100 anak. Profil Kepala SD dari guru DPK, agak sulit untuk diajak melakukan perubahan demi kemajuan sekolah. Diantara unit sekolah tsb. yang paling menonjol adalah SMK St. Pius. Dengan jumlah siswa yang cukup besar terdiri dari 3 kelas parelel SMK berpotensi menjadi sekolah standar nasional di kemudian hari.

2. Cepu
Sekolah Katolik di Cepu terdiri dari TK, SD SMP, SMA dan SMK dibawah tanggung jawab Rm. Siprianus Yitno,Pr. Dari sisi bangunan cukup luas, hanya belum ada pengembangan yang baru, dalam arti masih bangunan gedung yang lama. Yang cukup membanggakan adalah berkat usaha Rm Yitno dan Romo Didik, SMK Yosef berhasil melakukan ikatan kerja sama dengan Exon Mobil, perusahaan migas di Cepu. Sehingga mendapat dana pengembangan sekolah dan SDM senilai 2 milyar. SMK Yosef juga punya potensi menjadi sekolah standar Nasional di kemudian hari.

3. Randublatung
Sekolah Katolik di Randu terdiri dari SMP, SMA dan SMK St. Louis. Sekolah di Randu cukup memprihatinkan. Untuk SMP, jumlah siswa sangat minim, demikian juga jumlah siswa SMA bahkan lebih minim. Ditambah lagi sarana dan fasilitas gedung sekolah SMA yang masih berupa papan. Sedangkan SMK dilihat dari jumlah siswa cukup banyak, total sekitar 400 siswa. Sayang, kualitas guru yang masih rendah dan masih lemah dalam pengelolaan keuangan dan program sekolah.

4. Rembang
Sekolah Katolik di Rembang terdiri dari TK, SD SMP, SMA dan SMK dibawah tanggung jawab Rm. Triwidyanto, Pr. Saya hanya berkesempatan memberi pada para siswa di SMAK St. Maria dan SMK Yos Sudarso. Situasi tidak jauh berbeda dengan di Randublatung. Siswa SMA yang masih minim, termasuk fasilitas yang kurang terawat. Sedangkan untuk SMK memiliki jumlah siswa yang cukup banyak.

5. Tuban
Sekolah Katolik di Tuban terdiri dari TK, SD SMP, SMA dibawah tanggung jawab Romo Kurdo Irianto, Pr. Dari kunjungan saya ke Tuban, banyak faktor yang kurang mendukung untuk kemajuan sekolah. Romo Kurdo sebagai Romo yayasan, juga menjadi Romo kepala paroki seorang diri, ditambah tugas romo stasi. Praktis ada keterbatasan dalam memikirkan kemajuan pengembangan sekolah. Untuk sekolah TK dan SD memang masih relatif baik. Namun kondisi sekolah SMP dan SMA yang sangat menyedihkan. Malah tahun kemarin SMA hanya sanggup mendapat 9 siswa baru untuk kelas X.

6. Mojokerto
Diantara sekian sekolah yang mengalami penurunan, di Mojokerto termasuk sekolah yang sudah bisa mandiri. Di Mojokerto ada SMPK St. Yusup dan SMAK St. Thomas Aquinas dibawah tanggang jawab Rm. Joko Nugroho, Pr. Untuk SMPK St. Yusup memiliki semangat yang cukup tinggi dalam membangun kualitas sekolah. Sedangkan yang SMAK masih ‘nunut’ (menumpang) di gedung SMPK. SMPK St. Yusup termasuk aktif menggalang dana untuk pembangunan sekolah, kerja sama dengan Telkom fleksi, pengadaan lab. komputer dll. Di kota Mojokerto SMPK St. Yusup termasuk menjadi salah satu sekolah favorit. Namun kami melihat, metode pangajaran masih bersifat teacher oriented.

Melihat kondisi diatas yang cukup memprihatinkan, agak susah bagi kita bagaimana mengangkat kembali citra Sekolah Katolik. Namun tidak ada kata tidak bisa. Selama ada kemauan pasti ada jalan, dan tentunya dukungan semua umat paroki serta dalam terang Tuhan kita.

* Tulisan bersambung ke Nasib Sekolah Katolik Bag #2.

Salam,
Markus Tan

Silahkan Respon dan tanggapan anda