Jumat, 15 April 2011

Beberapa Penyebab "Bangkrutnya" Sekolah Katolik

Tulisan dari Sdr. De Santo Roberto

Topik ini bukan membahas apakah ada sekolah katolik yang tutup (fenomena ini sdh banyak yang tahu). Tetapi barangkali ini dimaksudkan untuk melontarkan beberapa persoalan yang dimungkinkan menjadi penyebab “bangkrutnya” sekolah katolik.

Ada Beberapa Penyebab :

1. MAHAL. Ini yang sering terlontar (efek semu bahwa sekolah katolik sekolahnya orang kaya). Karena mahal, maka banyak orang tua katolik yang menyekolahkan anak-2nya di sekolah negeri (yg relatif lebih murah krn milik dan dibiayai negera dan jumlahnya makin banyak saja). Jumlah murid menjadi berkurang.

2. KRISIS EKONOMI. Memang cukup dilematis. Di satu sisi beban operasional sekolah membengkak, mulai dari biaya listrik, gaji guru, pengembangan SDM guru. Sementara sumber dana sekolah katolik (sudah pasti bukan dari Pemerintah, rek !) adalah dari Uang Pangkal, SPP, donatur (yg dikelola Yayasannya). Uang Pangal tidak rutin. Pos SPP stagnan bahkan relatif menurun, dan donatur dari luar negeri praktis “dilarang” oleh penguasa. Pengeluaran menjadi tidak seimbang dengan pemasukan. “Besar pasak dari pada tiang”.

3. BEDA VISI DAN MISI. Antara Yayasan dan Pengelola Pendidikan (Eksekutif pendidikan) sering berbeda visi dan misi. Yayasan lebih mengedepankan “Ciri Khas” dan Eksekutif Pendidikan lebih mengejar mutu dan tuntutan jaman. Diperparah dengan kurangnya peran serta orang tuan murid dalam ikut serta memecahkan kebuntuhan yang ada. Kadang pihak Gereja, juga tidak ikut campur krn takut menambah persoalan.

4. MISMANAGEMENT. Pengelolaan sekolah masih mamakai management “belas kasih”, sementara banyak aspek “duniawi” yang semakin menekan kebutuhan sekolah (saya rasa semua sekolah) untuk menyikapinya. Seperti kemajuan iptek (IT dan Komunikasi) yang telat diantisipasi oleh pengelolanya (krn paradigma lama yang dipakai, yaitu management “belas kasih”). Belum lagi telatnya antisipasi kerasnya tekanan sistem kurikulum yang berubah-ubah. Bagi yang dibiayai Pemerintah masih mending, namun bagi yang swasembada murni seperti sekolah katolik, akan menjadi menambah beban kelincahan pengelolaan.

5. POLITISASI PENDIDIKAN. Banyak pengelola pendidikan katolik yang kurang tanggap atau masih menganggap sepi “ganasnya” politisasi pendidikan. Tengoklah Peraturan penrundang-undangan di bidang Pendidikan. Nyata bahwa pendidikan menjadi tidak steril dari kepentingan politik dan politik kepentingan yang nampak makin mengedepankan kepentingan kelompok tertentu (segala cara menjadi halal). Belum lagi kacaunya pembangunan sekolah-sekolah baru (terutama yang dibiayai Pemerintah) yang tidak lagi memperhatikan keberadaan sekolah yang sudah ada.

6. SISTEM PENDIDIKAN YANG BELUM MAPAN. Peraturan pemerintah tentang kurikulum yang berubah-ubah mulai dari CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), Kurikulum saat ini (Kurikulum Berbasis Kompetensi), kurikulum apalagi ya membuat para guru pusing. Apalagi dengan semakin kritisnya ortu dan siswa, konflik antara guru tua dan guru muda. Untuk buku pelajaran saja dan uang SPP sangat mahal. Ini juga terkait dengan Politisasi Pendidikan. Menciptakan kurikulum, dekat dengan urusan proyek, dan setiap proyek adalah keluarnya anggaran. Berapa anggaran yang tidak bocor ?

7. MENURUNYA JUMLAH PANGGILAN MENJADI IMAM, BIARAWAN/WATI. Terus terang saja, mereka yang terpanggil hidup selibat, secara moral lebih berpeluang untuk tidak tergoda kepada tuntutan kedagingan, sehingga kesetiaan mereka untuk membangun moral dan iman katolik tentunya lebih baik dari yang menerima penggilan menikah (tidak selibat). Mengabdi tanpa pamrih, itu sudah menjadi “kaul” mereka, tak terkecuali untuk membantu pengelolaan da pengembagan pendidikan. Jumlah panggilan yang banyak (setidaknya seimbang dengan populasi umat katolik) akan memudahkan pengelolaan pendidikan. Sayangnya jumlah panggilannya menurun.

8. SIKAP ORANG TUA MURID YANG MAKIN PRAKMATIS. Karena himpitan ekonomi dan minimnya gerakan katekese iman dan moral katolik, nyata menyebabkan orang tua makin akrap dengan pandangan prakmatisme dan pandangan “dagang sapi” oleh orang tua murid. Orientasi kepada hasil menjadi pola pikir mereka. Biaya yang banyak harus dipertanggungjawabkan oleh sekolah [padahal urusan pendidikan adalah urusan bersama !).

9. SIKAP TENAGA DIDIK (Guru). Makin banyak guru yang bermental "mengajar" bukan "mendidik". Adalah hal yang langka untuk mencari guru2 yg bisa "mendidik" dan berdedikasi tinggi. Gurupun menjadi pragmatis dan berperingai seperti pedagang. Hal ini diperparah oleh orang tua yg hanya ingin anaknya "lulus" dan mendapat "angka" yg baik.

Monggo dokomentari.
Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar